TANAH DATAR,HARIANHALUAN.ID– Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Singgalang-Tandikek di Nagari Pandai Sikek, Kabupaten Tanah Datar, menuai penolakan keras dari masyarakat adat, perangkat nagari, dan organisasi masyarakat sipil.
Masyarakat menilai, Proyek Energi Baru Terbarukan (EBT) yang digarap PT Hitay Balai Kaba Energi ini, berpotensi mengancam sumber daya air, lahan pertanian produktif, hingga hak ulayat masyarakat yang menggantungkan hidup dari kesuburan hamparan tanah lereng Gunung Singgalang-Tandikek.
Kerapatan Adat Nagari (KAN) Pandai Sikek sebelumnya telah mengambil sikap tegas sejak 17 Februari 2024 silam. Dalam keputusan resminya, KAN menyatakan menolak rencana eksplorasi panas bumi di Jorong Pagu-Pagu.
Alasannya, lokasi sumur bor (wellpad) berada di lahan pertanian yang selama ini menjadi tumpuan hidup warga. Jika proyek dipaksakan, dikhawatirkan muncul konflik sosial yang merusak harmoni nagari.
Penolakan tersebut kembali ditegaskan pada pertemuan Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari (BPRN) Pandai Sikek bersama WALHI Sumbar, PBHI Sumbar, dan KIPP Sumbar pada Kamis (11/9/2025) kemarin.
Dalam forum itu, masyarakat menyampaikan kekhawatiran serius mereka terhadap risiko ekologis dan sosial yang ditimbulkan kehadiran proyek Geothermal di Nagari mereka.
Kepala Departemen Advokasi Lingkungan WALHI Sumbar Tomi Adam menekankan bahwa pembangunan proyek panas bumi harus menghormati prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan bebas, didahulukan, dan berdasarkan informasi lengkap.
“Jika masyarakat terdampak investasi menolak secara sadar tanpa paksaan, maka itu sah baik secara hukum maupun moral,” ujarnya
WALHI Sumbar juga mengingatkan, bahwa pembangunan PLTP memiliki dampak serius, antara lain peningkatan aktivitas seismik atau gempa, risiko tanah longsor di kawasan rawan bencana serta persaingan sumber daya air yang berpotensi menyebabkan keringnya lahan pertanian masyarakat sekitar.
“Kehadiran Geothermal di Gunung Singgalang-Tandikek juga meningkatkan resiko terjadinya pencemaran tanah dan udara yang mengancam kesehatan masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, lepasan gas beracun yang dapat menimbulkan korban jiwa, serta tambahan emisi gas rumah kaca dari siklus operasional PLTP,” tambahnya.
Dari aspek legalitas, LBH Padang menilai proses perizinan yang dikantongi PT Hitay Balai Kaba Energi tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat secara bermakna.
“Partisipasi yang dilakukan hanya formalitas. Warga tidak diberi ruang menentukan sikap secara bebas dan sadar,” tegas Calvin Nanda Permana, Kepala Divisi Kampanye LBH Padang.
Ia mengungkapkan, izin yang dimiliki perusahaan hanyalah Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan Eksplorasi (WPSPE) yang diterbitkan pada 2013.
Padahal, sesuai UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, pembangunan hanya bisa dilakukan di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Hingga kini, tidak pernah ada penetapan WKP untuk proyek Tandikek–Singgalang.
“Artinya, izin eksplorasi yang dimiliki perusahaan sudah kadaluarsa dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas,” tambah Calvin.
Masyarakat Pandai Sikek mengaku telah belajar dari pengalaman daerah lain di Tanah Air yang terjebak proyek geothermal seperti misalnya kasus benturan PT Geo Dipa Energi dengan masyarakat Wae Sano di Manggarai Barat (2016).
Kemudian penolakan Gunung Talang di Solok (2018), hingga konflik geothermal di Maluku (2022) serta Poco Leok di Manggarai (2023). Rentetan kasus konflik agraria yang dipicu kehadiran proyek Geothermal ini menjadi catatan penting bagi masyarakat Pandai Sikek.
“Kami tidak ingin masuk daftar panjang korban proyek geothermal yang mengorbankan rakyat,” ujar salah satu perwakilan masyarakat Pandai Sikek.
Pertemuan BPRN, WALHI, PBHI, dan KIPP Sumbar menghasilkan komitmen untuk menjaga kondusivitas nagari. Aspirasi masyarakat akan dikawal hingga ke tingkat pemerintah daerah dan pusat, dengan tujuan agar proyek PLTP Tandikek–Singgalang tidak dilanjutkan di wilayah Pandai Sikek.
“Energi terbarukan memang penting untuk masa depan, tetapi tidak boleh mengorbankan hak adat, tanah ulayat, dan keberlanjutan pertanian. Masa depan energi hijau seharusnya tidak menambah beban berupa konflik sosial dan ancaman pangan,” demikian pernyataan bersama yang disepakati. (*)














