Oleh karena itu, ia merasa masyarakat terdampak rencana pembangunan Geothermal Singgalang-Tandikek perlu mendapatkan penjelasan lengkap menyeluruh. Termasuk soal tidak adanya dampak negatif Geothermal bagi lingkungan.
“Misalnya saja di proyek Geothermal Supreme Energy Muaro Laboh di Solok Selatan yang telah berjalan serta di Geothermal Bonjol Pasaman yang baru saja di resmikan. Disana kan tidak ada isu lingkungan negatif,” jelasnya.
Menurut Helmi, keberlanjutan proyek pengembangan energi panas bumi, justru malah sangat bergantung kepada kelestarian tutupan hutan serta sumber air di sekitar lokasi pengeboran. Oleh karena itu, ia menilai pandangan yang menyebut keberadaan Geothermal akan berdampak negatif terhadap lingkungan tidak sepenuhnya benar.
“Nah jika terkait lokasi Wellpad Geothermal yang berada di sawah atau lahan pertanian warga, itu kan masih bisa dikomunikasikan. Kalau bisa dihindari akan kita hindari. Kalau memang Wellpad nya perlu digeser ya akan kita geser ke lokasi lain yang tidak mengganggu. Semuanya kan masih bisa dibicarakan,” tuturnya.
Terkait aspek legalitas Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan Eksplorasi (WPSPE) PT Hitay Balai Kaba Energi yang dinyatakan LBH Padang sudah kadaluarsa dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas, Helmi Heriyanto mengatakan bahwa sesuai regulasi terbaru, pengembangan memang sudah bisa dimulai tanpa harus menunggu status penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP).
“Aturan baru memungkinkan untuk itu. Jika dulu eksplorasi dilakukan oleh negara, maka sekarang eksplorasi sudah bisa diserahkan kepada swasta atau pengembang panas bumi karena memang kegiatan eksplorasi membutuhkan uang negara yang tidak sedikit,” tambahnya.
Artinya, ucap Helmi, izin WSPE yang dipegang PT Hitay Balai Kaba Energi tidak bermasalah secara legal formal. Sebab kenyataannya, izin WSPE yang sama juga dikantongi oleh PT EDC Panas Bumi Indonesia yang menggarap potensi panas bumi Koto Sani Tanjung Bingkung Kabupaten Solok, serta PT Medco Power Indonesia yang kini telah resmi memulai pengeboran di Bonjol, Kabupaten Pasaman.
“Baik Geothermal Bonjol maupun Geothermal Tanjung Bingkung itu izinnya juga WSPE, tidak ada bedanya dengan Tandikek -Singgalang. Jadi memang tidak harus WKP karena memang kegiatan eksplorasi kini telah diberikan kepada swasta. Bukan lagi oleh negara,” jelasnya.
Sementara terkait potensi pencemaran, tanah dan udara yang mengancam kesehatan masyarakat, hilangnya keanekaragaman hayati, lepasan gas beracun yang dapat menimbulkan korban jiwa, serta tambahan emisi gas rumah kaca dari siklus operasional PLTP, yang dikhawatirkan masyarakat, Helmi memastikan bahwa sudah ada regulasi yang akan meminimalisir hal tersebut.
Pada saat memulai proses Eksplorasi, ucap Helmi, pengembang wajib mengantongi dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-PL). Lalu pada saat memulai tahapan eksploitasi, perusahaan wajib punya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Artinya, semua isu sosial dan lingkungan pasti akan dikelola dengan baik. Karena EBT itu sendiri prinsipnya adalah ramah lingkungan. Untuk itu, kita akan segera membuka ruang diskusi untuk memberikan penjelasan yang selengkap-lengkapnya kepada masyarakat,” pungkasnya. (h/fzi)














