Per 2021, Luas Tutupan Hutan Sumbar Capai 1,8 Hektare

Hutan Sumbar. (Fofo: Dishut.sumbarprov.go.id)

PADANG, HALUAN — Dinas Kehutanan (Dishut) Sumatra Barat mencatat, hingga akhir 2021, luas tutupan hutan di Sumbar telah mencapai 1,8 juta hektare. Di sisi lain, setiap tahunnya, laju kerusakan hutan juga berhasil diminimalisasi hingga 12 ribu hektare.

Sekretaris Dishut Sumbar, Ferdinal Asmin menyebutkan, total luasan kawasan hutan negara saat ini mencapai 2,3 juta hektare. Dengan jumlah tutupan hutan tersebut, Sumbar dinilai lebih baik dibanding provinsi-provinsi tetangga. Menurutnya, luas tutupan hutan di Sumbar tersebut juga sudah baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.

“Angka 1,8 juta hektar itu didapat dari hasil analisis citra penutupan hutan primer dan hutan sekunder, hingga kondisi terakhir 2021. Tingginya tutupan hutan di Sumbar tersebut tidak terlepas dari kesadaran sebagian masyarakat tentang topografi Sumbar yang berbukit-bukit. Jika merusak hutan, maka masyarakat bisa mendapatkan bencana, seperti banjir dan longsor,” katanya kepada Haluan, Juamt (7/1).

Berangkat dari hal itu, pihaknya terus mengupayakan menurunkan laju kerusakan hutan. Di mana setiap tahunnya, laju kerusakan hutan berhasil ditekan hingga 12 ribu hektare. Tahun ini, Dishut Sumbar akan lebih fokus pada upaya-upaya menekan kerusakan hutan.

“Sebelumnya kemi menargetkan bisa menurunkan kerusakan hutan hingga 15 ribu hektare, namun baru tercapai 12 ribu hektare. Dan ini akan terus ditingkatkan mengingat sebagian masyarakat Sumbar masih bergantung pada keberadaan hutan,” ujarnya.

Upaya menurunkan laju kerusakan hutan itu salah satunya dengan melakukan penghijauan di hutan rakyat. Selain itu, upaya penghijauan juga dilakukan dengan jalan memberikan bibit gratis kepada masyarakat melalui unit-unit persemaian yang ada.

“Pusat pembibitan di Dishut Sumbar bisa menghasilkan 200 ribu bibit per tahun. Tapi, ada juga yang dimiliki oleh UPT KLHK yang bisa menghasilkan satu juta bibit setiap tahunnya. Itu yang disebar secara gratis, karena bentuk dari upaya menyelamatkan hutan,” katanya.

Semakin Baik

Sebelumnya, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menilai tutupan hutan di wilayah sumbar masih termasuk baik bila dibandingkan dengan provinsi tetangga di Sumatra. Direktur KKI Warsi, Rudi Syaf menerangkan, berdasarkan catatan KKI Warsi, pada tahun 2021, tutupan hutan Sumbar mencapai 1.744.549 hektare (41 persen) dari seluruh kawasan hutan di provinsi itu tercatat 2.286.883 hektare. Kondisi ini, menurutnya, masih menunjukan tren positif.

Kendati demikian, ia memandang, penurunan tutupan kawasan hutan di wilayah Sumbar tetap ada tetapi masih tergolong datar dan tidak langsung jomblang. Meski begitu, masih ditemukan aktivitas penambangan emas dan pembalakan liar yang dapat merusak hutan.

Ia menyebutkan, aktivitas penambang emas masih dominan di Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok, dan Kabupaten Sijunjung dengan luas total 6.967 hektare.

“Kendati demikian, tutupan kawasan hutan masih relatif baik. Bahkan ada nagari yang tutupan hutannya 99 persen,” katanya.

Ia menjelaskan, sepanjang tahun 2021 kabupaten/kota di Sumbar yang memiliki luas tutupan hutan yang tinggi adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan luas 409.078 hektare atau sebesar 68 persen dari luas wilayah.

Disusul leh Kabupaten Solok dengan luas 194.366 hektare atau sebesar 54 persen, Kabupaten Pasaman dengan luas 213.045 hektare atau sebesar 53 persen, dan Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) dengan luas 301.500 hektare atau sebesar 49 persen.

Ia mengungkapkan, di Sumbar sendiri berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar ada sebanyak 950 nagari yang berada di dalam kawasan hutan. Dengan rincian, 356 nagari berada di hutan konservasi, 305 nagari di hutan lindung, dan 280 nagari berada di hutan produksi.

Sedangkan aktivitas yang biasanya terjadi di dalam hutan sendiri dibagi dalam dua bentuk, yakni pengelolaan kawasan hutan sesuai peruntukannya (HPH) dan pengelolaan kawasan hutan sesuai zonasinya.

“Nah yang menjadi permasalahan adalah adanya aktivitas ilegal seperti penambangan emas tanpa izin atau PETI, pembukaan areal perladangan, dan illegal logging atau pembalakan liar,” kata Rudi.

Ia melanjutkan, pihaknya mencatat kegiatan PETI ditemukan di empat kabupaten di Sumbar, yakni Kabupaten Dharmasraya seluas 1.773 hektare, Kabupaten Solok 1.533 hektare, Kabupaten Solok Selatan (Solsel) seluas 2.559 hektare, dan dan Kabupaten Sijunjung 1.103 hektare.

“Tambang emas ilegal ini biasanya ada di kawasan sungai utama ataupun sungai kecil dalam kawasan Area Penggunaan Lain (APL) dan hutan lindung,” katanya.

Rudi menyampaikan, penambangan emas mengakibat kerusakan lingkungan dan timbulnya bencana longsor di sekitar kawasan tambang. Sepanjang tahun 2021, terhitung tiga kali terjadi longsor di kawasan tambang emas di Dharmasraya dan Solsel.

“Akibat kejadian tersebut, 14 orang meninggal dunia karena tertimbun longsor dan 14 orang mengalami luka-luka, 40 orang ditangkap, serta empat dompeng dan peralatan tambang lainnya diamankan,” ujarnya.

Sementara itu, praktek illegal logging terjadi di Solsel, Dharmasraya, dan Pessel. Sebanyak empat orang ditangkap dan 313 batang kayu balok diamankan. Kerusakan ekologi menjadi salah satu pemicu terjadinya bencana alam.

Tercatat, terjadi 11 kali bencana banjir di Solsel, Kota Solok, Padang Panjang, Pessel, Kabupaten Solok, Sijunjung, Kota Padang, dan Siberut. Bencana longsor terjadi delapan kali sepanjang 2021, di antaranya di Padang Pariaman, Dharmasraya, Bukittinggi, Agam, Payakumbuh, dan Solok.

“Dampak dari bencana tersebut, sebanyak sembilan orang meninggal dunia, 3.181 rumah terendam banjir, enam rumah rusak, dan satu jembatan ambruk,” ucapnya. (h/dar)

Exit mobile version