Ragam Kendala Menghambat Upaya Normalisasi Sungai di Sumbar

Salah seorang warga berada di bagian rumahnya yang tersisa, Senin (11/10). Sebelumnya, abrasi Sungai Batang Anai pada Rabu 29 September lalu menghanyutkan sebagian bangunan rumahnya. IRHAM

PADANG, HALUAN—Normalisasi sungai sebagai upaya pencegahan banjir akibat sedimentasi yang menyebabkan air bah, menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah daerah (Pemda) di Sumatra Barat (Sumbar). Sejumlah daerah mengaku kekurangan alat berat untuk mengeruk sungai yang mengalami pendangkalan.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang, Barlius menyebutkan, salah satu penyebab banjir di ibu kota provinsi itu adalah sedimentasi atau pendangkalan di sejumlah aliran sungai. Akibatnya, saat curah hujan tinggi, air sungai akan naik dan meluap ke permukiman warga.

“Sungai-sungai di Kota Padang yang selama ini jadi sistem alami untuk mengalirkan air dari darat ke laut, telah mengalami pengurangan daya tampung. Diperlukan pengerukan atau normalisasi untuk mengembalikan kapasitas daya tampung sungai-sungai itu,” kata Barlius kepada Haluan, Kamis (21/10).

Barlius menyebutkan, tujuh aliran sungai di Kota Padang sangat membutuhkan normalisasi. Terutama sekali sungai-sungai di kawasan Lubuk Minturun, Aia Pacah, Banda Gadang, Sungai Sapiah, Sungai Lareh, hingga Banda Bakali.

Selain itu, beberapa sungai kecil juga menyempit karena material-material seperti kayu, lumpur, hingga sampah ikut terbawa dari hulu.

Pemko Padang, kata Barlius, sudah berkoordinasi dengan Badan Wilayah Sungai (BWS) V terkait upaya pengerukan sungai-sungai tersebut.

Hingga kini, sejumlah sungai sudah mulai dilakukan pengerjaan tindakan darurat, berupa pengerukan di titik-titik yang dianggap paling rawan.

Selain di sungai, kata Barlius lagi, pengerukan juga dilakukan di lorong-lorong drainase yang juga tersumbat, sehingga mengakibatkan aliran air tidak mengalir dengan baik. Terutama  sekali saat hujan deras turun dan menyebabkan munculnya genangan air.

“Seperti di kawasan Jati, Alai, dan Lapai, itu sering banjir. Beberapa waktu lalu sudah mulai dilakukan pengerukan di selokan dan riol pinggir jalan. Di sana banyak ditemukan sumbatan sampah yang menyebabkan air tak bisa mengalir ke laut. Isi selokan macam-macam. Ada kayu, plastik, dan sampah rumah tangga,” katanya lagi.

Barlius juga menyebutkan, daerah resapan air di Kota Padang juga terus berkurang, sehingga ikut berpengaruh pada upaya penanganan banjir.

Beberapa wilayah resapan air bahkan sudah menjadi kawasan padat permukiman, yang menyebabkan air yang seharusnya meresap ke tanah, menjadi terhalang oleh beton atau semen.

“Daerah resapan air sudah semakin sedikit di Kota Padang. Akibatnya jika hujan turun, air mengenang ke permukiman penduduk. Seperti di Banda Gadang, di sana bahkan ada permukiman yang berdiri pada aliran lama sungai, atau sungai mati. Akibatnya, jika hujan lebat turun atau terjadi banjir bandang, daerah ini sangat rawan,” katanya lagi.

Sebetulnya, kata Barlius lagi, pihaknya telah menyiapkan sejumlah langkah untuk memperluas daerah resapan air di Kota Padang. Namun, karena pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, program perluasan daerah resapan air hingga reboisasi terpaksa ditunda dulu.

“Sekarang ini untuk berkegiatan seperti itu cukup sulit. Dulu sering kegiatan reboisasi, penghijauan, dan penanaman pohon. Namun saat ini terhenti,” ujarnya.

Minim Alat Berat

Salah seorang warga mengemasi puing barang di rumahnya yang runtuh karena abrasi Sungai Batang Anai, Ketaping, Padang Pariaman, Senin (11/10). Setidaknya 21 rumah rusak berat dan butuh perbaikan segera. IRHAM

Hal yang sama juga disampaikan Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Kabupaten Padang Pariaman, Budi Mulya. Ia menyebutkan bahwa salah satu upaya penanggulangan bencana alam banjir adalah pengerukan sungai yang berpotensi meluap saat terjadi hujan deras akibat sedimentasi.

“Pengerukan sungai di beberapa titik di Padang Pariaman memang perlu dilakukan. Hanya saja kekurangan alat berat masih jadi penghalang. Sebenarnya untuk pengerukan itu, ada kerja sama dengan Dinas PU, karena pengelolaan alat berat di BPBD tidak ada. Semuanya dikelola Dinas PU. Jadi, masih harus koordinasi dulu,” ujarnya, Kamis (21/10).

Budi menyebutkan, saat ini sungai-sungai di Padang Pariaman memang memiliki endapan yang sudah mulai tinggi. Hal ini yang kemudian menyebabkan sungai meluap dan terjadi banjir di beberapa titik rawan di kabupaten tersebut.

“Selain endapan sungai yang tinggi, tebing-tebing di pinggiran sungai juga tidak terawat. Sehingga, di beberapa titik sering terjadi abrasi yang semakin meluas,” ujarnya lagi.

Terpisah, Kepala Seksi Pengelolaan Sungai, Waduk, dan Pantai, Dinas Pekerjaan Umum Padang Pariaman, Ramudin menyampaikan, terdapat lima sungai di Padang Pariaman yang butuh pengerukan segera demi mengurangi potensi banjir. Di antaranya, Sungai Batang Gasan, Sungai Limau, Sungai Naras, Sungai Batang Ulakan, dan Sungai Paku.

“Kelima sungai itu butuh segera dilakukan pengerukan. Sungai Batang Gasan salah satunya, tidak hanya perlu dilakukan pengerukan, tetapi juga perlu pembuatan tanggul sungai, karena berada di garis pantai,” ujarnya.

Namun, kata Ramudin, proses pengerukan sungai belum bisa dilakukan dengan optimal lantaran terkendala minimnya alat berat. Saat ini, Dinas PU hanya memiliki tiga unit eskavator yang bisa dioperasikan untuk pengerukan sungai di Padang Pariaman.

“Sebenarnya ini salah satu kendalanya, keterbatasan alat berat. Sebelumnya, ada empat eskavator, tapi saat banjir 29 September lalu, satu unit rusak total,” ujarnya menutup. (h/mg-fzi/mg-sci)

Exit mobile version