PADANG, HALUAN — Realisasi belanja daerah pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Sumatra Barat (APBD Sumbar) 2021 baru terserap 57,75 persen pada akhir Oktober 2021. Kebijakan pengalihan anggaran dan perubahan nomenklatur sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) ditengarai menjadi alasan utama lambannya penyerapan.
Terkait permintaan Menteri Keuangan (Menkeu) agar pemerintah daerah (Pemda) segera mempercepat realisasi APBD, Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sumbar per Oktober mencatat realisasi belanja daerah baru 57,75 persen atau Rp3,9 triliun dari total anggaran Rp6,8 triliun. Sementara itu realisasi pendapatan menyentuh Rp5,7 triliun, atau 86,95 persen dari target yang dipatok.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sumbar, Dellyarti mengatakan, kendati belum seperti yang diharapkan, tetapi menimbang kondisi saat ini, realisasi belanja daerah Sumbar tersebut menurutnya tidak terlalu buruk.
“Dibandingkan capaian provinsi-provinsi lain di Indonesia, capaian realisasi APBD Sumbar masih berada di tengah-tengah. Tidak terlalu baik, tapi tidak terlalu buruk juga. Jika melihat laporan Kemendagri, Sumbar berada pada peringkat 20-an dalam capaian realisasi APBD se-Indonesia,” katanya saat ditemui Haluan di kantornya, Selasa (2/11).
Berdasarkan data BPKAD Sumbar, sambungnya, hingga Oktober 2021 realisasi pendapatan daerah Sumbar mencapai Rp5,7 triliun, yang terdiri dari realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp2,03 triliun atau sekitar 87,03 persen, pendapatan transfer sebesar Rp3,7 triliun atau sekitar 88,40 persen, serta pendapatan lain-lain yang sah sebesar Rp18,8 miliar atau sekitar 20,33 persen.
Sementara itu, realisasi belanja daerah sebesar Rp3,9 triliun terdiri dari belanja operasi sebesar Rp3,1 triliun atau sekitar 64,76 persen, belanja modal sebesar Rp232,8 miliar atau sekitar 27,17 persen, Belanja Tak Terduga (BTT) sebesar Rp41,1 miliar atau sekitar 82,28 persen, serta belanja transfer sebesar Rp432,8 miliar atau sekitar 47,39 persen.
Lebih jauh, Dellyarti mengatakan, realisasi APBD pada OPD-OPD di lingkungan Pemprov Sumbar hingga memasuki kuartal IV 2021 memang belum maksimal. Terkecuali, pada OPD-OPD dengan anggaran kecil dan tidak terlalu banyak berhubungan dengan pihak ketiga.
“Misalnya, seperti Inspektorat atau biro-biro, itu sudah tinggi realisasinya. Nah, yang masih rendah itu OPD yang baru mengalami perubahan nomenklatur pada pertengahan tahun kemarin. Apalagi bagi OPD-OPD yang dipecah, seperti Bakeuda sendiri, yang dipecah menjadi BPKAD dan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Banyak tetek bengek yang harus diurus, seperti pembukaan rekening dan NPWP baru agar anggaran bisa dicairkan. Inilah yang menghambat realisasi,” tuturnya.
Kendati demikian, ia menilai, kekurangan realisasi tersebut dapat dikejar pada bulan November, terlebih jika APBD Perubahan sudah disahkan. Pasalnya, banyak penyesuaian-penyesuaian anggaran yang menghambat realisasi tersebut yang dapat diselesaikan pada APBD Perubahan.
Selain itu, Dellyarti menambahkan, masih banyak OPD yang sudah menyelenggarakan kegiatan yang telah dianggarkan, tapi belum bisa melakukan pembayaran karena satu dan lain hal. Dengan melakukan penyesuaian, saat APBD Perubahan cair, maka pembayaran yang tertunda tersebut dapat langsung dilakukan.
APBD Perubahan 2021 ditargetkan sudah bisa disahkan dan dicairkan dalam dua minggu ke depan. Dellyarti mengatakan, pihaknya telah menerima hasil evaluasi Ranperda APBD Perubahan 2021 dari Kemendagri. Selanjutnya, hasil evaluasi akan ditanggapi dan dibahas bersama DPRD Sumbar. Setelah itu, hasil perbaikan berdasarkan evaluasi akan dikirimkan kembali ke Kemendagri untuk ditetapkan sebagai Perda dan mendapatkan nomor registrasi (noreg).
“Insya Allah, dalam minggu ini sudah clear dan selambat-lambatnya pertengahan November APBD Perubahan 2021 sudah bisa dicairkan,” ujarnya lagi.
Sementera itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan bahwa realisasi belanja APBD per 30 September baru mencapai Rp603,57 triliun. Angka ini kontraksi 2,11 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang tercatat Rp616,59 triliun.
Sri Mulyani menyebutkan, angka tersebut hanya setara 49,56 persen dari pagu belanja daerah sebesar Rp1.217,74 triliun. Realisasi belanja APBD yang masih rendah disebabkan penurunan per jenis belanja seperti sisi belanja modal, belanja lainnya, dan belanja pegawai.
Untuk belanja pegawai, realisasinya Rp258,53 triliun, turun dibanding tahun sebelumnya yang tercatat Rp 265,87 triliun. Sementara belanja modal tercatat realisasi Rp50,57 triliun, juga lebih rendah, selanjutnya belanja lainnya.
“Kontraksi dan terlihat penurunan sangat besar dari sisi belanja lain dan belanja modal untuk belanja pegawai juga terjadi penurunan sedikit dan tidak sangat besar, belanja lain justru mengalami kenaikan,” kata Sri Mulyani, dikutip dari kontan.co.id, Selasa (2/11).
Dari sisi belanja daerah per fungsi, sambung Sri Mulyani, terjadi kenaikan, yakni pada belanja pendidikan naik 1,4 persen year on year (yoy) setara Rp 183,96 triliun, atau baru 15,1 persen terhadap APBD. Serapan terbesar terjadi pada belanja pegawai untuk gaji guru dan tenaga pendidik. Kemudian belanja kesehatan turun 3,7 persen yoy atau Rp 95,36 triliun. Realisasi ini baru 7,8 persen terhadap APBD.
Pemda, Sri Mulyani menambahkan, diminta mempercepat penggunaan anggaran untuk penanganan Covid-19, dukungan vaksin, dan insentif nakes. Termasuk juga serapan belanja perlindungan sosial yang tercatat turun 27,4 persen yoy dengan realisasi Rp 6,67 triliun atau baru 0,5 persen terhadap APBD. Pemerintah perlu untuk mendorong penyerapan bantuan sosial untuk membantu masyarakat terdampak pandemi. (h/dan)