“Edukasi secara masif diperlukan, agar masyarakat bisa menjalankan fungsi 2P, yaitu sebagai pelapor dan pelopor kasus kekerasan. Termasuk TPPO agar kasus bisa diungkap dan korban bisa ditangani,” ucapnya.
Ia menegaskan, upaya pencegahan dan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, perlu terus dimassifkan sembari menyiapkan kebijakan yang komprehensif dan mendalam.
Atas dasar itu, peningkatan peran masyarakat sangat penting untuk terus ditingkatkan. Minimal dimulai dari diri sendiri dan keluarga dan cara membangun komunikasi yang baik antar anggota keluarga, serta penguatan pengetahuan agama.
“Upaya ini harus dibangun sejak dari dalam keluarga, agar keluarga lebih bisa memahami kondisi yang ada. Sebab kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, tetapi juga mencakup kekerasan psikis dan kekerasan sosial,” katanya.
Rosmadeli menilai, saat ini masyarakat masih sering salah persepsi terkait dengan bentuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagian orang menganggap tindakannya adalah sebagai cara untuk mendidik, namun hal tersebut sebenarnya merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan maupun anak.
Berdasarkan lokasi terjadinya kekerasan, sambung Rosmadeli, rata-rata perempuan mengalami tindakan kekerasan saat berada di lingkungan rumah atau domestik dibandingkan saat berada di lingkungan publik atau komunitas.
Kekerasan di lingkungan domestik lebih sulit untuk di deteksi karena bersifat tertutup atau tidak terlihat secara langsung. Lain halnya dengan kekerasan yang terjadi di lingkungan publik yang nyata terlihat dan diketahui khalayak ramai.