PADANG, HARIANHALUAN.ID — Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Sumatra Barat menggelar workshop bertajuk “Arah Kebijakan Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan”, Selasa (20/2/2024).
Kegiatan ini dibuka langsung Kepala DP3APKB Sumbar, Herlin Sridiani, serta menghadirkan para pimpinan lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Perindungan Perempuan dan Anak (P2TPA), Satuan Tugas Perlindungan Perempuan Anak (Satgas PPA), serta Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) se-Sumatra Barat.
Kepala DP3APKB Sumbar, Herlin Sridiani mengatakan, lebih dari setengah penduduk Sumbar didominasi kalangan perempuan dan anak. Data statistik itu, juga menjadikan perempuan dan anak menjadi kelompok yang paling rentan mendapatkan kekerasan fisik maupun psikis.
“Atas dasar itu, pemerintah telah menjadikan urusan perlindungan perempuan dan anak sebagai urusan wajib. Karena hal ini menyangkut keselamatan 2.798.827 jiwa perempuan (hampir 50%), serta 1.790.177 jiwa anak (30,08%) dari total 5. 640.629 jiwa penduduk Sumatra Barat, ” ujarnya.
Herlin mengungkapkan, Kekerasan Terhadap Perempuan (KtP) termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) telah menjadi permasalahan global yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), serta ketimpangan gender.
Kedua fenomena yang rawan menyasar perempuan dan anak ini, masih menjadi fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terungkap dan teridentifikasi belum menggambarkan jumlah kasus real yang terjadi di tengah masyarakat.
“Hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa kasus KtP merupakan “aib” dan masalah “domestik” keluarga, yang tidak pantas diketahui orang lain,” ucapnya.
Sementara untuk kasus TPPO, sambung dia, sebagian besar masyarakat belum memahami tentang TPPO, sehingga menganggap hal tersebut wajar dan tidak pantas dilaporkan. Terutama jika pelaku merupakan keluarga sendiri, sehingga diselesaikan secara kekeluargaan.
Pada kesempatan itu, Herlin Sridiani juga mengungkapkan, sepanjang tahun 2023 lalu, Sistim Informasi Online Perlindungan Perempuan&Anak (SIMFONI PPA) Provinsi Sumbar tahun 2023 mencatat telah terjadi 1.051 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatra Barat.
Ribuan kasus itu telah menyebabkan 1.113 orang menjadi korban. Dengan rincian 268 kasus menyebabkan 272 orang perempuan menjadi korban, serta 783 kasus lainnya menyebabkan 841 anak menjadi korban kekerasan
“Rinciannya kekerasan fisik sebanyak 80 korban, kekerasan psikis dan seksual 51 korban, satu orang korban perdagangan orang (Human Traffikcing), serta 17 korban penelantaran dan 20 korban kasus lainnya,” katanya.
Menurut Herlin, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatra Barat sepanjang tahun 2023 lalu, mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2022 sebelumnya.
“Melihat data-data tersebut perlu suatu upaya, yaitu percepatan penurunan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui upaya pencegahan dan penangganan korban kekerasan secara terpadu,” katanya.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3APKB Sumbar, Rosmadeli menambahkan, dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus, serta korban kekerasan secara terpadu dan komprehensif, diperlukan sistem pencatatan dan pelaporan yang terintegrasi, komprehensif dan realtime.
“Edukasi secara masif diperlukan, agar masyarakat bisa menjalankan fungsi 2P, yaitu sebagai pelapor dan pelopor kasus kekerasan. Termasuk TPPO agar kasus bisa diungkap dan korban bisa ditangani,” ucapnya.
Ia menegaskan, upaya pencegahan dan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, perlu terus dimassifkan sembari menyiapkan kebijakan yang komprehensif dan mendalam.
Atas dasar itu, peningkatan peran masyarakat sangat penting untuk terus ditingkatkan. Minimal dimulai dari diri sendiri dan keluarga dan cara membangun komunikasi yang baik antar anggota keluarga, serta penguatan pengetahuan agama.
“Upaya ini harus dibangun sejak dari dalam keluarga, agar keluarga lebih bisa memahami kondisi yang ada. Sebab kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, tetapi juga mencakup kekerasan psikis dan kekerasan sosial,” katanya.
Rosmadeli menilai, saat ini masyarakat masih sering salah persepsi terkait dengan bentuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagian orang menganggap tindakannya adalah sebagai cara untuk mendidik, namun hal tersebut sebenarnya merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan maupun anak.
Berdasarkan lokasi terjadinya kekerasan, sambung Rosmadeli, rata-rata perempuan mengalami tindakan kekerasan saat berada di lingkungan rumah atau domestik dibandingkan saat berada di lingkungan publik atau komunitas.
Kekerasan di lingkungan domestik lebih sulit untuk di deteksi karena bersifat tertutup atau tidak terlihat secara langsung. Lain halnya dengan kekerasan yang terjadi di lingkungan publik yang nyata terlihat dan diketahui khalayak ramai.
“Untuk itu kedepannya perlu upaya yang sistematis dan kolaboratif berupa deteksi dini potensi terjadinya kekerasan di lingkungan domestik, salah satunya dengan memberdayakan lembaga layanan, seperti P2TP2A, Puspaga, Satgas PPA dan beberapa lembaga lainnya,” ucapnya.
Ia menegaskan, seluruh lembaga tersebut harus memiliki komitmen yang sama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan aman. Sehingga kekerasan terhadap perempuan dapat minimalisir dan di cegah sebaik mungkin.
Komitmen itu, juga sangat krusial mengingat tidak semua korban kekerasan terhadap perempuan termasuk TPPO mau melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya keranah hukum.
“Upaya sosialisasi, edukasi dan rehabilitasi, agar terus ditingkatkan. Perlu melakukan penanganan akar masalah kekerasan terhadap perempuan termasuk TPPO, yaitu kemiskinan,” tuturnya mengakhiri. (*)