JAKARTA, HALUAN — Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah meminta gubernur di setiap provinsi menetapkan dan mengumumkan upah minimum provinsi (UMP) 2022 selambat-lambatnya pada 20 November 2021. Ada pun UMP di Sumbar untuk tahun 2021, berada pada angka Rp2.484.041, yang tidak mengalami kenaikan ketimbang UMP 2020.
Permintaan yang disampaikan Menaker Ida terhitung maju satu hari dari aturan yang tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yaitu pengumuman UMP tahun berikutnya harus disampaikan setiap tanggal 21 November tahun berjalan.
“Mengapa saya minta dimajukan, karena pada 21 November adalah hari libur nasional, maka penetapannya harus dilakukan paling lambat 1 hari sebelumnya, yaitu tanggal 20 November 2021,” ujar Ida dalam konferensi pers virtual, Selasa (16/11).
Selanjutnya, gubernur juga diminta untuk menetapkan dan mengumumkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) setelah pengumuman UMP, atau paling lambat pada 30 November 2021. Ketentuan ini tidak berubah dari aturan pada PP 36/2021.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian juga telah mengirimkan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 561/6393/SJ tentang Hal Penetapan Upah Minimum Tahun 2022, untuk mengingatkan para kepala daerah agar segera membuat keputusan.
Selain itu, Menaker Ida mengklaim bahwa berbagai data untuk perhitungan formula upah minimum telah diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Data-data itu disebutkan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan sendiri telah mengumumkan rata-rata kenaikan UMP 2022 secara nasional sebesar 1,09 persen. Namun, angka riilnya bisa berbeda-beda untuk setiap provinsi, sesuai ketetapan dari gubernur masing-masing.
Ida menyebutkan, ketentuan kenaikan UMP ini telah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ida menekankan, perhitungan upah minimum tahun depan sengaja menyesuaikan aturan baru, salah satunya dengan merujuk median upah karena ini merupakan standar yang berlaku secara internasional.
Idealnya, indeks median upah berada di kisaran 0,4 sampai 0,6 persen, tapi Indonesia sudah lebih dari 1, sehingga perlu ada penyesuaian formula perhitungan upah minimum.
“Karena kondisi upah minimum yang terlalu tinggi tersebut menyebabkan sebagian besar pengusaha tidak mampu menjangkaunya dan akan berdampak negatif terhadap implementasinya di lapangan,” ucap Ida sebelumnya, sebagaimana dikutip dari cnnindonesia.com.
Misalnya, sambung Ida, membuat kenaikan upah minimum jadi tidak didasari pada peningkatan kinerja pekerja atau buruh. Sementara, serikat buruh lebih cenderung menuntut kenaikan upah dibandingkan membicarakan upah berbasis kinerja dan produktivitas.
Dampak lain bila upah minimum tidak sesuai aturan, kata Ida, dapat menurunkan indeks daya saing Indonesia, khususnya pada aspek kepastian hukum. Hal ini selanjutnya akan menurunkan kepercayaan investor dan mempersempit ruang dialog kesepakatan upah dan penetapan struktur serta skala upah ke depan.
Tak cuma itu, Ida khawatir akan muncul dampak ikutan seperti terhambatnya perluasan kesempatan kerja baru, terjadinya substitusi tenaga kerja ke mesin, memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), mendorong terjadinya relokasi dari lokasi dari lokasi yang memiliki nilai upah minimum tinggi ke yang lebih rendah, hingga mendorong tutupnya perusahaan.
Menunggu UMP Sumbar
Merujuk pada Ketetapan Gubernur Sumbar tahun lalu yang masih dijabat Gubernur Irwan Prayitno, UMP 2021 dipatok senilai Rp2.484.041, dan tidak terjadi kenaikan ketimbang UMP tahun sebelumnya. Oleh karena itu, menarik untuk disimak kebijakan Gubernur Sumbar saat ini, Mahyeldi, dalam menetapkan UMP pada tahun pertama masa jabatannya.
Tahun lalu dalam keputusannya, Gubernur Irwan mengatakan bahwa bedasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minumum Tahun 2021 pasa masa Pandemi Covid-19, bahwa tidak adanya kenaikan UMP disebabkan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian secara umum. (h/isq)