PADANG, HALUAN — Pemerintah provinsi melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatra Barat (BPBD Sumbar) menetapkan status siaga potensi banjir dan longsor di seluruh sungai, mulai sisi hulu hingga hilir. Di sisi lain, pengendalian banjir perlu diperkuat dengan mengevaluasi pembangunan tanggul penahan luapan air sungai.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sumbar, Rumainur mengatakan, kondisi sungai di Sumbar memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Mulai dari sungai di perkotaan, di daerah, serta kawasan penggunaan. Selain itu, panjang sungai juga bervariasi, bahkan ada yang melintas hingga ke provinsi tetangga.
Dengan kondisi tersebut, Rumainur menyatakan bahwa BPDB sudah siap siaga secara keseluruhan dari hulu ke hilir sungai, guna mengantisipasi potensi kejadian banjir dan tanah longsor. Terutama sekali di daerah dengan kawasan hulu sungai yang relatif panjang.
“Kita di Sumbar secara keseluruhan sudah siaga. Semuanya siaga. Baik dari hulu mau pun hilir. Jika debit air sungai di hulu sudah tinggi, maka kemungkinan besar di hilirnya akan terjadi banjir,” kata Rumainur kepada Haluan, Selasa (16/11).
BPBD Sumbar, sambung Rumainur, telah bersiaga di sisi hulu untuk memantau tinggi muka air saat terjadi hujan lebat, seperti sungai yang berada di daerah Solok Selatan yang cukup panjang dan melintasi sejumlah daerah. Sehingga, bila ada potensi banjir, maka dapat langsung dikoordinasikan dengan daerah-daerah yang dilewati aliran sungai tersebut.
Selain itu, kata Rumainur lagi, dalam pengendalian dan pencegahan banjir, juga diperlukan pembangunan tanggul sebagai penahan agar air sungai tidak meluap. BPBD Sumbar bahkan akan mengevaluasi titik-titik yang rawan, sehingga memerlukan pembangunan tanggul penahan sesegera mungkin.
Di samping itu, Rumainur menambahkan, BPBD Sumbar juga mewaspadai potensi longsor yang dapat ditimbulkan saat kejadian hujan lebat. Baik longsor yang berada di daerah pemukiman, atau pun potensi longsor di tebing-tebing sungai yang bisa menyebabkan banjir bandang.
Dalam kondisi darurat bencana yang telah ditetapkan sampai akhir tahun ini, sambungnya, BPBD Sumbar juga fokus pada penanganan pra dan pascabencana, seperti meminimalisir dampak dan kerugian yang ditimbulkan, proses evakuasi korban, dan perbaikan akses yang terdampak.
“Khusus untuk kerugian yang telah timbul karena kejadian banjir dan longsor, secara rinci kami belum mendapatkan data. Kalau untuk rumah penduduk, mungkin akan dievaluasi apa yang harus diperbaiki, tapi dikaji dulu apakah lokasi rumah itu aman atau tidak dari potensi bencana berikutnya,” katanya lagi.
Rumainur memisalkan, banjir dan longsor yang menerjang daerah Talamau, Pasaman Barat pada Kamis (11/11) lalu, telah menyebabkan sejumlah rumah warga teredam dan juga menutup akses jalan. “Dampak kerugian ini harus dievaluasi dengan baik. Terutama terkait kerusakan rumah dan badan jalan,” katanya.
Mitigasi Terukur
Sebelumnya, Pengamat Kebencanaan dan Akademisi Universitas Andalas (Unand), Badrul Mustafa Kemal menyampaikan, berdasarkan Indeks Risiko Bencana (IRB) terbaru, sejumlah daerah di Sumbar memiliki tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi seperti di Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Agam. Baik itu bencana alam atau pun bencana hidrometorologi.
BPBD, kata Badrul, harus memiliki kesiapsiagaan dalam bentuk program mitigasi yang terukur dan terstruktur. Terutama sekali dengan merujuk IRB sebagai pedoman dalam penyusunan program mitigasi, terutama prabencana. Sehingga, bencana dan risiko kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalisir.
Ia memisalkan, langsor dan banjir yang menerjang Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat, beberapa hari lalu, dengan dampak kerugian yang ditimbulkan cukup besar. BPBD Pasaman Barat mencatat, kerugian mencapai Rp1,7 miliar karena rusaknya sejumlah fasilitas publik serta gagal panennya puluhan hektare (ha) sawah.
Di sisi lain, Badrul menyebutkan, beberapa bulan lalu di Pasbar, tepatnya di Kecamatan Kinali, juga terjadi bencana serupa. Hal ini menunjukkan, bahwa wilayah-wilayah di Pasbar memiliki tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi.
Apalagi, Badrul menambahkan, Bulan November dan Desember disebut sebagai bulan basah di mana intensitas hujan turun lebih tinggi dan puncak musim hujan yang masih belum terjadi, sehingga Pemda perlu menyiapkan program mitigasi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Badrul menambahkan, berdasarkan analisa dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tentang banjir bandang yang terjadi di Talamau, disebabkan adanya cekungan-cekungan yang membentuk bendungan kecil di hulu sungai, sama persis dengan penyebab banjir bandang di Kota Padang pada 2012 lalu.
“Banjir bandang disebabkan karena di hulu sungai terbentuk bendungan-bendungan alami yang disebabkan tumpukan ranting kayu atau pohon tumbang menghalangi arus air. Sehingga, membuat aliran air tidak lancar dan menggenang. Lalu, saat curah hujan cukup tinggi, cekungan itu akan jebol dan menimbulkan air bah dan membawa material apa saja sehingga terjadi banjir bandang,” katanya.
Menurut Badrul, Pemda dan BPBD perlu melakukan pengecekan ke hulu sungai secara periodik dan rutin untuk upaya pembersihan. Sebab, bila bendungan dibiarkan, apalagi di musim hujan, akan sangat membahayakan dan berpotensi memicu banjir bandang. (h/mg-dar)