Hilang Jati Diri Budaya: Minangkabau Menuju Kematian (2)

Hilang Jati Diri Budaya: Minangkabau Menuju Kematian

Pecinta Sejarah, Budaya dan Bahasa Minangkabau: Dirwan Ahmad Darwis

HARIANHALUAN.ID – Seperti tulisan sebelumnya, dorongan kalimat mambangkik batang tarandam lebih condong kepada kapitalis karena sifatnya untuk mencapai kejayaan/kemegahan pribadi. Sedangkan wacana Sumbar bangkit yang diapungkan oleh media Haluan, membawa pesan untuk kejayaan bersama.

Wacana ini menjadi lebih menarik untuk ditelaah dan dibahas, karena tidak lama lagi Sumbar akan terlibat dalam perhelatan yang konon katanya “demokrasi”, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak mulai dari jabatan bupati dan wali kota, hingga gubernur. Jika ditakdirkan, wacana Sumbar Bangkit ini bisa saja bergerak bagaikan bola salju. Artinya, masyarakat bisa menggunakan wacana ini sebagai pedoman dalam pilkada nanti, agar tidak terpilih pemimpin yang di”kada” atau berkudis. Pemimpin “dikada” atau “bakada” alias berkudis dapat diterjemahkan sebagai pemimpin yang mempunyai rekam jejak jelek.

Ini karena sebahagian para calon pemimpin adalah para petahana yang sudah menunjukkan kualitas kepemimpinan masing-masing. Ada juga muka-muka baru dari berbagai kalangan, juga ada mantan pejabat yang ikut bersaing. Khusus bagi para petahana, masyarakat tentu sudah merasakan dampak dari berbagai kebijakan dan keputusan-keputusan politik yang selama ini sudah mereka jalankan. Apakah rekam jejaknya baik atau bakada, maka kini lah saatnya masyarakat mengevaluasi, serta menentukan pilihan dengan cerdas. Namun kecerdasan juga perlu dilengkapi dengan wawasan, harus ada dasar pemikiran sebagai pedoman. Untuk itu, tulisan ini mungkin sedikitnya dapat membantu masyarakat dalam menelaah untuk menentukan pilihan.

Sikap Politik Masyarakat dalam Memilih Pemimpin

Sikap artinya adalah suatu reaksi yang datang dari pandangan atau perasaan seorang individu terhadap objek tertentu. Walaupun objek tersebut adalah sama, namun belum tentu semua individu mempunyai sikap yang sama terhadap suatu objek. Karena akan dipengaruhi oleh keadaan individu tersebut, oleh pengalamannya, oleh informasi yang diperolehnya, atau bisa jadi keberadaan objek tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu yang sering berbeda. Maka, sikap seseorang terhadap suatu objek akan membentuk perilaku individu itu terhadap objek tersebut, semisal suka atau tidak suka (Gerungan 2004: 160). Objek dalam hal ini adalah calon pemimpin yang akan dipilih.

Politik dalam arti luas, adalah suatu kegiatan yang dibuat, dipelihara, dan digunakan untuk masyarakat, untuk menegakkan peraturan di dalam masyarakat itu sendiri. Dalam berbagai literatur, pernyataan filsuf Yunani Aristoteles sering dikutip bahwa politik itu adalah ”master of science”, kunci untuk memahami lingkungan. Hakikatnya, politik adalah gejala terkait manusia yang selalu hidup bermasyarakat, kodratnya adalah makhluk sosial yang selalu dinamis dan berkembang. Politik adalah gejala yang wujud dalam proses perkembangan manusia, oleh sebab itu lah konflik dan kerja-sama adalah sesuatu yang biasa dalam politik.

Selain kondisi pancagatra sosial di Sumbar sebagaimana sudah digambarkan di atas, ada dua hal penting yang harus menjadi pedoman bagi masyarakat dalam memilih pemimpin. Pertama, bagaimana wawasan dan perhatiannya terhadap agama Islam, sebagai agama mayoritas orang Minangkabau. Kalau ia terpilih akankah ia mampu membentengi daerah ini dari berbagai ancaman terhadap kerusakan agama. Kedua, bagaimana wawasan dan perhatiannya terhadap adat dan budaya. Sebab, bila kita membaca kisah-kisah hidup para tokoh-tokoh besar masa lalu itu, tidak terlepas dari lingkungan kehidupan yang membentuk mereka, atau pola pikir Minangkabau yang ditanamkan oleh kedua orang tua mereka. Ini sangat penting, karena dasar jati diri budaya Minangkabau adalah adat dan syarak sebagaimana tergambar dalam falsafah ABS-SBK. Hal ini kemudian juga dipertegas lagi melalui UU Sumatera Barat No. 17 tahun 2022 tentang adat budaya Minangkabau berdasarkan falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (ABS-SBK). Jadi, dalam memilih pemimpin, masyarakat harus waspada terhadap politik uang, serta janji-janji politik para politisi yang lebih didasari oleh kepentingan pribadi dan kelompok. 

Membandingkan Minangkabau dengan Bali

Orang Bali memiliki identitas budaya yang kuat, dan mereka bangga dengan warna-warni warisan yang unik dan kaya. Aspek keagamaan dan spiritual masyarakat Bali tak terpengaruh oleh arus modernisasi. Dengan kekuatan jati diri budaya yang terpelihara, mereka bersatu menjaga warisan yang tetap tumbuh dan berkembang, bahkan menjadi penghias globalisasi. Semangat kebersamaan dan solidaritas sosial dalam masyarakat Bali justru semakin terpelihara dan kuat di tengah arus globalisasi dan modernisasi. Keadaan ini membuat pendidikan budaya menjadi penting,  dan pada saat yang sama promosi budaya di media massa berdampak sangat positif terhadap pengembangan ekonomi masyarakat terutama melalui sektor pariwisata.

Sementara itu warisan budaya orang Minangkabau di Sumbar, walaupun pada dasarnya tidak kalah kaya dibanding Bali, tetapi masyarakatnya terutama generasi muda mengalami ketergerusan jati diri budaya. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan dan pemahaman budaya para pengambil kebijakan, termasuk para wakil rakyat. Keadaan ini membuat kalangan muda sekarang tidak lagi bangga dengan budayanya. Pengaruh modernisasi, migrasi dan urbanisasi menjadi semakin kuat, sehingga terjadilah perubahan sosial dan ekonomi. Tak lama lagi mungkin akan ada konflik internal terkait dengan nilai-nilai tradisional dan modern. Inilah akibat dari peminggiran pendidikan budaya yang dianggap tidak penting.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kekuatan jati diri budaya orang Bali, serta kelemahan jati diri budaya orang Minangkabau, menunjukkan pentingnya membangun kesadaran pada tataran tokoh dan pemimpin masyarakat terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan pendidikan sejarah, warisan budaya, serta peran dan fungsi bahasa sebagai sumber kecerdasan orang Minangkabau masa lalu. Artinya, sekali lagi, keadaan ini memerlukan penekanan terhadap pentingnya pendidikan budaya terhadap generasi muda.

Kekuatan Minangkabau yang masih tinggal dan mungkin bisa dijadikan celah untuk melakukan manuver mempertahankan jati diri budaya adalah karena masih adanya sisa-sisa peninggalan sejarah yang masih asli. Termasuk kekayaan budaya dan sumber daya alam, serta semangat kewirausahaan yang ada pada masyarakat Minangkabau. Kewirausahaan itu sangat penting, karena upaya mempertahankan dan memperkuat jati diri budaya masyarakat tentu memerlukan pendanaan. Pendanaan tidak harus selalu datangnya dari pemerintah, yang diperlukan adalah dana awal oleh pemerintah dalam usaha membangun kesadaran bersama. Jika kesadaran ini sudah terbangun, masyarakat akan mencari sendiri cara untuk mempertahankannya. Dalam hal ini potensi besar kalangan perantau Minangkabau belum tersentuh. Mereka yang tinggal di negara-negara maju dapat dikatakan punya wawasan kebudayaan jauh lebih baik dibandingkan dengan yang tinggal di ibu kota negara Indonesia.

Zaman kini, sebenarnya bukan tidak ada orang Minangkabau yang cerdas dan pintar, serta berprestasi. Catatan Hasril Chaniago (2018), menunjukkan masih banyak orang-orang Minangkabau yang mampu berkiprah di tingkat nasional maupun internasional. Namun yang saya persoalkan di sini adalah, bahwa kebanyakan jati diri budaya orang Minangkabau hebat zaman sekarang sudah tergerus. Mereka tidak lagi membawa alam Minangkabau itu ke tanah rantau, seperti tokoh-tokoh hebat masa lalu. Artinya kebanyakannya sekarang tidak nampak lagi ciri budaya Minangkabau itu melekat dalam diri mereka, dan itu tergambar dari sikap dan perilaku. Hingga akhirnya mereka hanya jadi orang Indonesia biasa saja, dan kurang ada dampaknya terhadap Minangkabau sebagai sebuah suku kaum.

Contoh sederhana saja, jika bahasa itu menunjukkan bangsa/suku kaum, dapat dikatakan sebagian besar Minangkabau rantau sudah tidak mampu lagi berbahasa Minangkabau. Walaupun mampu, tapi ada yang enggan berbahasa Minangkabau, pada hal itu adalah salah satu simbol jati diri budaya seseorang. Bahkan sebahagian ada yang malu mengaku sebagai orang Minangkabau, lebih suka bergaya Jakarta atau bergaya luar negeri. Tidak sama dengan perilaku budaya tokoh-tokoh Minangkabau hebat zaman dulu yang menjadikan budaya sebagai pakaian kehidupan mereka. Itulah salah satu faktor yang membuat Minangkabau zaman dulu dikenal orang, mereka hebat dan tidak kehilangan jati diri budayanya. Sehingga dulu ada kata-kata bahwa alam Minangkabau itu luas, di mana saja ada orang Minangkabau, di situ ada alam Minangkabau. Artinya generasi hebat dulu bangga menjadi Minangkabau dan itu tercermin dalam perilakunya. Tapi generasi kini kebalikannya, mereka malu sebagai orang Minangkabau.

Kesimpulan

Tulisan ini menekankan pentingnya melestarikan jati diri budaya Minangkabau sebagai landasan pembangunan, untuk keberlangsungan masyarakat. Perbandingan dengan Bali menyoroti betapa vitalnya menjaga jati diri budaya dalam mendukung kemajuan ekonomi, terutama dalam sektor pariwisata. Kesadaran akan pentingnya pendidikan budaya dan warisan budaya menjadi kunci dalam membangun kesadaran kolektif dan semangat kebersamaan.

Dalam konteks pemilihan pemimpin, dasar utamanya adalah penting mencari pemimpin yang mempunyai pandangan yang luas dan memahami adat dan agama, harus kedua-duanya sekali. Nasrun (1957:24) mengatakan, bahwa dalam diri orang Minangkabau itu adat dan agama sejalan. Pemimpin yang hanya memahami salah satu saja (adat saja atau agama saja) diyakini dia akan berjalan tengkak alias pincang, dan pancagatra sosialnya pun akan terlihat pincang. Untuk itu, rujuk dan pahamilah QS. Al Hujurat 13, itulah wujud sosio budaya dalam Islam.

Jadi perlu membangun kesadaran akan pentingnya jati diri budaya, agar dapat menjaga kebersamaan, dan memilih pemimpin yang berkualitas, diharapkan Sumbar dapat bangkit menuju masa depan yang lebih baik. Tetapi kalau kesadaran masih di awang-awang, dan konflik dan gontok-gontokan antarlembaga, antar tokoh masih berlanjut, maka Sumbar bangkit mungkin akan bertukar menjadi Minangkabau di penghujung usia, menunggu kematian sebagaimana judul tulisan ini. Yang mati itu bukan raganya, tetapi budayanya atau cara hidupnya. Pergaulan bebas, LGBT, murtadin dan lainnya akan berkembang semakin pesat, dan Minangkabau akan menuju menjadi sebuah suku kaum yang tidak beradab (uncivilized ethnic group). Kalau tidak percaya, cobalah sekali-sekali menoleh ke negara-negara tertentu di Afrika, di sana ada buktinya. Wallahualam bissawab. Terima kasih. (*)

Oleh: Dirwan Ahmad Darwis

(Pecinta Sejarah, Budaya dan Bahasa Minangkabau)

Exit mobile version