Hilang Jati Diri Budaya: Minangkabau Menuju Kematian (1)

Minangkabau Menuju Kematian

Pencinta Sejarah, Budaya dan Bahasa Minangkabau: Dirwan Ahmad Darwis

HARIANHALUAN.ID – Ketika sahabat saya Zul Efendi, Pemimpin Umum media Haluan menghubungi dan meminta saya menulis sebuah tulisan untuk edisi khusus dalam wacana “Sumbar Bangkit”. Sejenak saya termenung, dalam hati bertanya, apakah ini maksudnya “mambangkik batang tarandam” lagi? Karena sudah sejak dari kecil saya sangat sering mendengar orang mengucapkan “…kok lai tabangkik batang tarandam”.

Belakangan saya juga terpikir, kalimat motivasi itu sebenarnya bagus. Tapi selama ini tidak pernah ada takrifan atau definisi yang jelas tentang itu. Apa yang dimaksud “batang” sebagai kata kiasannya, dan di mana “tarandam” nya, siapa yang merandam, kenapa terandam dan apa perlunya dibangkitkan? Dan, entah sejak kapan pula istilah itu mulai menjadi buah bibir orang Minangkabau.

Sumbar Bangkit & Pesan Kebersamaan

Suatu hari, ketika kalimat itu kedengaran lagi, saya pernah bertanya apa maksudnya. Ternyata dalam pikiran si pengucap adalah bagaimana supaya “jadi kaya raya, berpangkat dan terhormat.” Itulah lazimnya wujud harapan yang tersemat dalam kalimat mambangkik batang tarandam, yakni agar seseorang rajin belajar atau bersunggh-sungguh dalam bekerja supaya nanti bisa kaya, berpangkat dan terhormat. Jadi pendekatan yang ada pada kalimat itu sangat kapitalis, karena sifatnya untuk kejayaan pribadi, bukan untuk bersama. Mungkinkah pesan melalui kalimat khas ini yang membuat orang Minangkabau hari ini menjadi mata duitan, segalanya diukur dengan kekayaan materi dan pangkat? Untuk mendapatkan semua itu bahkan orang yang sanggup melakukan apa saja, meskipun salah dan tidak halal. Nah, ketika Haluan mengusulkan Sumbar (Minangkabau) bangkit, wacana ini jadi menarik, karena membawa pesan kebersamaan. 

Sumatera Barat (Sumbar) dan Minangkabau adalah dua hal yang berbeda. Sumbar adalah salah satu wilayah administratif dalam negara Indonesia, sedangkan Minangkabau adalah suku kaum terbanyak yang mendiami wilayah Sumbar dengan cara hidup (budaya) dan tradisinya yang khas. Betul, bahwa tidak semua penduduk Sumbar adalah orang Minangkabau. Tetapi warna Sumbar dalam banyak hal akan tetap ditentukan oleh Minangkabau sebagai penduduk mayoritas. Sebab itulah dalam tulisan ini saya lebih cenderung melihat “Sumbar Bangkit” dari segi posisi dan peran orang Minangkabau, tanpa bermaksud meminggirkan peran suku kaum lain.

Terkait kata “bangkit”, dalam bahasa Minangkabau disebut bangkik. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mentakrifkan kata “bangkit” artinya bangun dari duduk, atau bangun dan hidup kembali. Dengan kata lain, bangkit adalah sebuah gerakan perubahan dari yang rendah menuju ke tempat yang lebih tinggi. Dalam hal ini, jika merujuk kepada masa lalu Minangkabau yang pernah hebat sebab dulu mampu melahirkan sejumlah tokoh-tokoh besar yang menghiasi panggung sejarah bangsa ini, termasuk di negara tetangga, bahkan hingga ke dunia internasional. Maka kata Sumbar bangkit, selain harapan untuk kembali bangun dan naik ke atas, tapi sekaligus juga pengakuan terhadap prestasi Minangkabau dalam berbagai hal telah menukik turun atau terpuruk dibanding masa lalu. Untuk itu, sudah saatnya untuk kembali bangkit dengan suatu gerakan perubahan.

Memulai wacana Sumbar Bangkit ini, Haluan menggaris-bawahi lima tujuan. Pertama, melacak berbagai pandangan tentang Sumbar dulu dan kini dari berbagai aspek. Kedua; mengungkap fakta dan data Sumbar dulu dan kini dari berbagai sudut dan daerah. Tiga, memetakan masalah, kelemahan dan kekuatan Sumbar dulu dan kini. Keempat, menawarkan jalan keluar untuk Sumbar ke depan. Terakhir, mendorong lahirnya kebijakan dan tindakkan untuk Sumbar yang lebih baik.

Melihat Sumbar Dalam Pancagatra Sosial

Sebelum bicara soal bangkit, tentu perlu untuk lebih dahulu melihat keadaan Sumbar hari ini. Dalam beberapa hal, secara ringkas saya coba melihatnya melalui sudut pandang pancagatra sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya). Untuk memahaminya secara mendalam, tentu perlu pengetahuan tentang sejarah, politik, ekonomi, budaya, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi wilayah Sumbar. Berikut adalah gambaran sederhana saja, disimpulkan dari berbagai literatur, antara lain:

Ideologi: Minangkabau secara tradisional menganut adat dan budaya matrilineal, yang memengaruhi struktur sosial dan budaya. Namun, dalam era moderen ini, disebabkan melemahnya jati diri budaya orang Minangkabau, maka ideologi politik dan sosial menjadi semakin dominan mempengaruhi pola pikir individu dan kelompok. Sehingga berdampak terhadap pembangunan sumber daya insani, serta semakin sulitnya membangun kebersamaan dan persatuan. Karena para tokoh dan pemimpin sering terjebak dalam kacamata politik melihat keadaan Sumbar. Hal ini tentunya berdampak terhadap maju atau mundurnya peradaban Minangkabau sebagai suku kaum yang banyak menentukan warna Sumatera Barat ke depan.

Politik: Politik di Sumbar, sama seperti di seluruh daerah-daerah di Indonesia, dipengaruhi oleh dinamika nasional dan lokal. Partai-partai politik memiliki peran dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan politik. Pengaruh politik dalam setiap negara (khususnya yang mempunyai kekayaan alam) akan senantiasa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Kekuatan asing yang berorientasi keuntungan akan senantiasa bermain dan memanfaatkan situasi kacau yang terkadang sengaja diciptakan untuk memuluskan agendanya. Di sini warga Sumbar perlu waspada, dan dalam hal ini, hanya kekuatan jati diri budaya yang dapat menjadi pengikat hubungan antara masyarakat sebagai benteng yang melindungi kepentingan jangka panjang untuk anak cucu. Tapi selama ini, ini benar yang diabaikan oleh (terutama) pemerintah, karena ketidak-tahuan.

Ekonomi: Sebenarnya Sumbar memiliki potensi ekonomi yang besar, semisal dalam sektor pertambangan (emas dan lain-lain), pertanian, perkebunan, dan juga pariwisata (alam, kuliner dan sejarah/budaya). Namun, tantangannya adalah ketersediaan infrastruktur yang kurang berkembang, ketidak-setaraan ekonomi, kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan dan beberapa hal lainnya. Di sisi lain, terjadi tarik menarik kepentingan politik antara pusat dan daerah, atau percaturan politik lokal di Sumbar khususnya antara yang berkuasa dengan yang berada di luar kekuasaan. Nampaknya semua ini akan tetap menjadi penghalang terciptanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang berdaya guna, sudah untuk bangkit, sehingga akhirnya Sumbar tidak dapat melahirkan suatu kebijakan ekonomi yang berkelanjutan.

Sosial: Dulu masyarakat Minangkabau memiliki kebiasaan sosial yang unik, termasuk adat istiadat yang kuat dalam bingkai sistem kekerabatan matrilineal. Namun, globalisasi dan modernisasi telah membawa perubahan sosial tradisional yang menggerus tatanan sosial yang dulu pernah ada dan berdaya guna. Terpinggirnya pendidikan tentang kebudayaan lokal semisal: mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau, adalah salah satu contoh. Membuat (terutama) generasi muda mulai tercerabut dari akar budaya mereka sehingga melahirkan pranata sosial yang baru dan merugikan. Minimnya pengetahuan dan pemahaman mereka tentang cara hidup (budaya) sendiri, membuat mereka mencintai budaya luar atau asing, inilah salah satu sumber pemantik terjadinya perubahan sosial. Bahkan ketidak-pahaman ini juga membuat mereka cenderung memandang rendah budaya sendiri. Contohnya penggunaan bahasa dalam pergaulan sosial, mereka menganggap bahasa Minangkabau itu kasar atau lain-lain alasan, sehingga dipinggirkan. Pada hal seandainya mereka tau, seandainya para intelektual, para tokoh dan para pemimpin Sumbar paham tentang betapa pentingnya fungsi dan peran bahasa ini. Niscaya mereka akan amat sangat takut dan khawatir dengan ancaman masa depan terhadap nasib anak cucu mereka.

Budaya: Budaya Minangkabau kaya akan seni, musik, tarian, dan masakan yang khas, ini adalah sesuatu kebenaran yang tak bisa disangkal. Tetapi makna budaya tidak hanya sesempit itu. Budaya adalah cara hidup yang sangat luas cakupannya. Cara hidup (budaya) orang Minangkabau rujukan utamanya adalah prinsip yang ada dalam falsafah Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), itulah dasar jati diri budaya Minangkabau. Sekarang pertanyaannya, sejauh mana kah pengetahuan dan pemahaman para tokoh dan pemimpin Minangkabau saat ini tentang ABS-SBK? Sekarang, mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) sudah dihapuskan. Sedangkan BAM itu adalah aspek dasar bagi anak-anak Minangkabau untuk memahami ABS-SBK sebagai dasar jati diri budaya mereka. Sejak 2013 secara umum anak-anak Minangkabau tidak lagi punya sarana untuk mengenal pondasi budaya mereka. Sekarang mereka sedang dilibas oleh arus globalisasi dan modernisasi. Jadi jangan salahkan jika ada generasi hari ini terperosok ke dalam pengaruh budaya luar yang tidak sehat. LGBT adalah budaya dari luar, kehilangan keperawanan dan keperjakaan adalah sesuatu yang biasa dalam budaya luar. Melawan kepada orang tua dan guru adalah juga budaya dari luar. Dulu ketika jati diri budaya masyarakat masih kuat, jika kedapatan ada laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim jalan berdua saja, itu sudah jadi bahan gunjingan, itulah bentuk kontrol sosial. Sekarang duduk berdua-dua-an dan berpelukan di taman gelap sudah jadi hal biasa. Baru-baru ini, sebuah klip video  beredar di media sosial, ada tiga orang perempuan murtadin Minangkabau cuap-cuap dan tanpa malu mengaku pindah agama. Mereka tidak pikir lagi betapa malunya keluarga sesuku dan sekaumnya di kampung. Ini semua karena jati diri budaya yang sudah hilang, sehingga hilang pula rasa malu dan kebersamaan.

Dari keterangan di atas, dapat diambil intinya bahwa pembangunan dari segi aspek politik dan ekonomi di Sumbar memang kurang bergerak maju. Hal ini karena ketimpangan ekonomi dan konflik politik masih menjadi tantangan yang perlu diatasi. Dalam bidang sosial budaya, perubahan terus terjadi, keberadaan budaya tradisional semakin terpinggirkan, walaupun masih ada yang ingin tetap bertahan, tetapi kondisi mereka tertatih-tatih karena kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sementara yang lain sudah hanyut dalam derasnya pengaruh globalisasi dan modernisasi. Dari segi pertahanan dan keamanan, secara umum, Sumatera Barat atau Minangkabau relatif masih stabil meskipun beberapa tantangan keamanan seperti kejahatan dan konflik sosial masih ada. (*)

Oleh: Dirwan Ahmad Darwis

(Pencinta Sejarah, Budaya dan Bahasa Minangkabau)

Exit mobile version