Secara maksud dan turunan, anak tidak lagi diajarkan bahasa daerah atau bahasa ibunya sendiri. Sedangkan bahasa ibu atau bahasa daerah adalah bahasa yang paling dekat bagi orang tua dan anaknya. Intensitas bahasa daerah lebih kuat didikannya dibanding bahasa lain, di mana Bahasa Indonesia akan dapat dipahami dengan sendirinya dan bahasa asing akan lebih baik dikenalkan setelah anak dididik dengan bahasa keluarganya.
Bahasa sendiri merupakan ciri utama dari unsur kebudayaan. Dasar utama dari penerapan unsur kebudayaan adalah bahasa, baru diikuti oleh unsur lainnya seperti sistem pengetahuan, organisasi sosial, religi, kesenian dan yang lainnya.
Sehingga, kata Mak Katik, menyusutnya bahasa turut akan meruntuhkan unsur lainnya dalam penerapan unsur kebudayaan tersebut. Apalagi yang diilhami masyarakat Minangkabau dalam filosofi ABS-SBK, tentu akan menjatuhkan dua hal mendasar, yakni Islam dan Minangkabau.
Sementara itu, menurut ulama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Buya Gusrizal, kemerosotan moral bersinggungan langsung dengan kurangnya penerapan nilai-nilai Islam. Salah satu faktornya karena kualitas dakwah dan kehadiran tokoh agama yang turut menurun.
“Saat ini dakwah bergeser ke arah hiburan belaka, sehingga meninggalkan konsep pembinaan umat. Memang secara kuantitas dan intensitas, dakwah semakin banyak dan meningkat. Tapi tidak meningkat secara signifikan dari sisi kualitasnya,” katanya.
Penurunan tersebut, menurutnya, dapat dilihat dari jumlah jemaah yang mengisi masjid semakin berkurang dari waktu ke waktu. Sedangkan jumlah masjid yang dibangun selalu bertambah dan semakin megah.
Menurutnya, menegakkan masjid tidak cukup dengan fisik saja, tetapi peran buya atau ulama harus mendampingi umat sebagai tonggak tuo, karena masjid sebagai wadah untuk beraktivitas, beribadah, dan berbagi ilmu dari ulama ke umat.
“Dulu di Ranah Minang, buya atau ulama memiliki tempat untuk menetap, sehingga ulama paham dengan kondisi umat dan menjadi tempat mengadu dalam berbagai persoalan agama. Sedangkan dakwah sekarang memakai metode hit and run, yaitu tidak menetap di satu masjid. Dan inilah yang menjadi cikal bakal robohnya tonggak tuo, karena pudarnya peran ulama dalam membimbing umat atau secara garis besar masyarakat Minangkabau,” kata Buya. (*)