Semua Sektor Harus Memapah Jalannya ABS-SBK di Ranah Minang

Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Buya Gusrizal

Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Buya Gusrizal

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Sumatera Barat (Sumbar) dinilai tengah mengalami degradasi dari berbagai aspek, yang berpuncak pada kemerosotan moral. Berbagai kasus di Ranah Minang terkait asusila, narkoba, kenakalan remaja dan kriminalisasi kemanusiaan begitu marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Ranah Minang sejak tahun 2020 hingga 2022 terus mengalami peningkatan. Kasus kekerasan pada tahun 2022 mencapai 772 kasus, yang terdiri dari 567 kasus kekerasan terhadap anak dan 228 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Sedangkan untuk kasus narkoba, Kepolisian Daerah (Polda) Sumbar mencatat, 1.254 kasus telah ditangani sepanjang tahun 2023 lalu. Jumlah ini juga mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah sebanyak 1.162 kasus.

Kemudian untuk kasus HIV/AIDS, data RSUP M. Djamil menyatakan, terdapat sebanyak 350 kasus HIV/AIDS pada tahun 2022 lalu, yang didominasi oleh kasus lelaki suka lelaki (LSL). Bahkan, pada tahun 2021 Sumbar berada pada urutan ke-21 provinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus HIV/AIDS mencapai 4.378 kasus.

Sudah dua tahun sejak penetapan UU Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat, yang di dalamnya juga mencakup soal penerapan Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Namun nyatanya belum seperti yang diharapkan pemerintah dan masyarakat Ranah Minang. Artinya, permasalahan moral menjadi masalah mendasar yang meruntuhkan harapan Sumbar atas penerapan UU tersebut.

Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Mak Katik, menanggapi bahwa degradasi moral secara jelas diakibatkan oleh hilangnya landasan hidup di Minangkabau yang berasas pada ABS-SBK. Masyarakat Sumbar dari sudut pandang moral seakan tak mengindahkan lagi falsafah hidupnya.

“Menurut saya itu berada langsung di tatanan keluarga, dan masalahnya itu terletak di bahasa. Kecenderungan keluarga atau orang tua menganggap Bahasa Indonesia dan bahasa asing itu baik dalam mendidik. Maksudnya, Bahasa Indonesia itu akan diharapkan membuat anak hebat dan pintar. Tapi sebaliknya, anak menjadi manja dan bebas,” katanya.

Secara maksud dan turunan, anak tidak lagi diajarkan bahasa daerah atau bahasa ibunya sendiri. Sedangkan bahasa ibu atau bahasa daerah adalah bahasa yang paling dekat bagi orang tua dan anaknya. Intensitas bahasa daerah lebih kuat didikannya dibanding bahasa lain, di mana Bahasa Indonesia akan dapat dipahami dengan sendirinya dan bahasa asing akan lebih baik dikenalkan setelah anak dididik dengan bahasa keluarganya.

Bahasa sendiri merupakan ciri utama dari unsur kebudayaan. Dasar utama dari penerapan unsur kebudayaan adalah bahasa, baru diikuti oleh unsur lainnya seperti sistem pengetahuan, organisasi sosial, religi, kesenian dan yang lainnya.

Sehingga, kata Mak Katik, menyusutnya bahasa turut akan meruntuhkan unsur lainnya dalam penerapan unsur kebudayaan tersebut. Apalagi yang diilhami masyarakat Minangkabau dalam filosofi ABS-SBK, tentu akan menjatuhkan dua hal mendasar, yakni Islam dan Minangkabau.  

Sementara itu, menurut ulama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Buya Gusrizal, kemerosotan moral bersinggungan langsung dengan kurangnya penerapan nilai-nilai Islam. Salah satu faktornya karena kualitas dakwah dan kehadiran tokoh agama yang turut menurun.

“Saat ini dakwah bergeser ke arah hiburan belaka, sehingga meninggalkan konsep pembinaan umat. Memang secara kuantitas dan intensitas, dakwah semakin banyak dan meningkat. Tapi tidak meningkat secara signifikan dari sisi kualitasnya,” katanya.

Penurunan tersebut, menurutnya, dapat dilihat dari jumlah jemaah yang mengisi masjid semakin berkurang dari waktu ke waktu. Sedangkan jumlah masjid yang dibangun selalu bertambah dan semakin megah.

Menurutnya, menegakkan masjid tidak cukup dengan fisik saja, tetapi peran buya atau ulama harus mendampingi umat sebagai tonggak tuo, karena masjid sebagai wadah untuk beraktivitas, beribadah, dan berbagi ilmu dari ulama ke umat.

“Dulu di Ranah Minang, buya atau ulama memiliki tempat untuk menetap, sehingga ulama paham dengan kondisi umat dan menjadi tempat mengadu dalam berbagai persoalan agama. Sedangkan dakwah sekarang memakai metode hit and run, yaitu tidak menetap di satu masjid. Dan inilah yang menjadi cikal bakal robohnya tonggak tuo, karena pudarnya peran ulama dalam membimbing umat atau secara garis besar masyarakat Minangkabau,” kata Buya. (*)

Exit mobile version