Selain itu, pengarahan ABS-SBK juga harus mendapatkan prioritas sebagai corong penting dalam mewujudkan SDM di Sumbar. Lebih spesifiknya, penerapan ABS-SBK harus dianggarkan secara lebih, karena menyangkut masa depan generasi.
“Anggaran ada, pemerintah bisa menurunkan langsung ke berbagai lembaga terkait, misalnya di KUA. Bagi calon pengantin selipkan tentang adat dan agama. Jangan dipisahkan, karena adat dan syarak kalau berjalan dengan baik, maka itu sudah menunjukkan karakter dari ABS-SBK itu sendiri,” kata Mak Katik.
Jadi, ABS-SBK yang telah diregulasikan jangan sebatas menyosialisasikan ke bawah, lalu hanya mengharapkan realisasi tanpa ada pengawasan. Selain itu, juga difokuskan di sekolah akan dukungan bahasa daerah sebagai penguatan pembelajaran muatan lokal.
“Harus jelas, sebab Kemendikbud telah mendukung penuh bahasa daerah. Jadi jangan hanya memberikan tentang sejarah keminangkabauan saja kalau tidak dimulai dari penerapan bahasa daerah itu sendiri ke generasi anak-anak kita. Anak-anak itu punya pembelajarannya masing-masing yang dia gemari, makanya yang terutama itu bahasa daerah dan pemahaman Minangkabau harus intens,” ujarnya.
Begitu juga dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Buya Gusrizal. Menurutnya penerapan nilai-nilai agama harus dikonsentrasikan secara jelas. Artinya, butuh penguatan nilai-nilai di setiap realisasi program keagamaan, seperti program rumah tahfiz yang bisa diselipkan dengan pengajaran akhlak dan adat dalam pembelajarannya.
“Dulu kita punya Inyiak Parabek, Inyiak Canduang, dan Syekh Mukhsin dan lain-lain. Namun kita juga tidak bisa menyalahkan ulama karena ada perubahan secara struktural, yakni Dewan Kepengurusan Masjid (DKM) lebih tinggi dari ulama. Ulama diletakkan sebagai orang upahan sehingga proses pembinaan kepada umat tidak berjalan semestinya,” ujarnya.
Modernisasi bukan suatu hal yang dikhawatirkan jika siap menghadapinya. Masalahnya adalah umat tidak siap dengan perubahan itu, karena tidak memiliki benteng yang kokoh untuk memilah baik buruknya perubahan zaman.