PADANG, HARIANHALUAN.ID – Tahun berganti, zaman berubah. Sesungguhnya hal ini bukanlah persoalan pelik untuk membangkitkan kembali muruah Minangkabau seperti dulu. Sebaliknya, penerapan ABS-SBK yang telah dikuatkan melalui UU itu akan tetap mampu menerobos zaman dalam mewujudkan kembali nilai-nilai dari ABS-SBK tersebut.
Salah satunya melalui penggunaan bahasa Minangkabau. Merosotnya penggunaan bahasa Minangkabau dalam mendidik anak kemenakan secara persuasif dari keluarga maupun pendidikan formal menjadi pemicu utama kemunduran moral.
“Keluarga secara pendidikan terdekat seorang anak lebih cenderung mendidik anaknya menggunakan Bahasa Indonesia dibanding bahasa daerahnya. Bukan membedakan, bahasa Indonesia itu adalah bahasa formal yang pasti akan dipahami seseorang nantinya,” kata Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto.
Sedangkan bahasa daerah sebagai bahasa ibu adalah sebuah upaya pendekatan yang lebih intens dan masif kepada seorang anak. Artinya, penggunaan bahasa ibu begitu penting dalam mendekatkan atau melekatkan didikan keluarga kepada anak.
“Jika anak dididik dengan bahasa daerah, kata-kata atau peribahasa yang tidak dimengerti akan ditanyakan oleh si anak. Jadi secara turunannya, ada rasa penasaran anak untuk menanyakan dan mengetahui bahasa daerah ini. Sehingga kita orang tua menjadi ruang untuk bisa mengenalkan tentang nilai dan ruang lain dari keminangkabauan itu sendiri,” katanya, yang akrab dipanggil Mak Katik.
Kecenderungan anak-anak akan sifat penasaran, menjadi momen bagi keluarga untuk bisa mengenalkan nilai-nilai adat dan agama sebagaimana dalam falsafah ABS-SBK tersebut. Sehingga dari bahasa akan berkembang dan unsur-unsur lainnya yang akan semakin menguatkan tujuan.
Memang, secara progresif, penerapan kembali bahasa Minangkabau membutuhkan proses yang panjang. Layaknya dalam hal mewujudkan sumber daya manusia (SDM), harus diimplementasikan secara bertahap dan terukur. Namun yang terpenting dalam realisasinya itu adalah pengawasan di setiap pencapaiannya.
Selain itu, pengarahan ABS-SBK juga harus mendapatkan prioritas sebagai corong penting dalam mewujudkan SDM di Sumbar. Lebih spesifiknya, penerapan ABS-SBK harus dianggarkan secara lebih, karena menyangkut masa depan generasi.
“Anggaran ada, pemerintah bisa menurunkan langsung ke berbagai lembaga terkait, misalnya di KUA. Bagi calon pengantin selipkan tentang adat dan agama. Jangan dipisahkan, karena adat dan syarak kalau berjalan dengan baik, maka itu sudah menunjukkan karakter dari ABS-SBK itu sendiri,” kata Mak Katik.
Jadi, ABS-SBK yang telah diregulasikan jangan sebatas menyosialisasikan ke bawah, lalu hanya mengharapkan realisasi tanpa ada pengawasan. Selain itu, juga difokuskan di sekolah akan dukungan bahasa daerah sebagai penguatan pembelajaran muatan lokal.
“Harus jelas, sebab Kemendikbud telah mendukung penuh bahasa daerah. Jadi jangan hanya memberikan tentang sejarah keminangkabauan saja kalau tidak dimulai dari penerapan bahasa daerah itu sendiri ke generasi anak-anak kita. Anak-anak itu punya pembelajarannya masing-masing yang dia gemari, makanya yang terutama itu bahasa daerah dan pemahaman Minangkabau harus intens,” ujarnya.
Begitu juga dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar, Buya Gusrizal. Menurutnya penerapan nilai-nilai agama harus dikonsentrasikan secara jelas. Artinya, butuh penguatan nilai-nilai di setiap realisasi program keagamaan, seperti program rumah tahfiz yang bisa diselipkan dengan pengajaran akhlak dan adat dalam pembelajarannya.
“Dulu kita punya Inyiak Parabek, Inyiak Canduang, dan Syekh Mukhsin dan lain-lain. Namun kita juga tidak bisa menyalahkan ulama karena ada perubahan secara struktural, yakni Dewan Kepengurusan Masjid (DKM) lebih tinggi dari ulama. Ulama diletakkan sebagai orang upahan sehingga proses pembinaan kepada umat tidak berjalan semestinya,” ujarnya.
Modernisasi bukan suatu hal yang dikhawatirkan jika siap menghadapinya. Masalahnya adalah umat tidak siap dengan perubahan itu, karena tidak memiliki benteng yang kokoh untuk memilah baik buruknya perubahan zaman.
“Dakwah dan dai mesti diperkuat agar kualitasnya meningkat, saat ini yang diperkuat hanya fasilitas fisik saja, sedangkan fasilitas nonfisik adalah hal yang tak kalah penting untuk kebangkitan penerapan nilai agama di tengah masyarakat. Penerapan nilai agama dapat berkembang ke arah lebih baik asalkan tokoh-tokoh peduli dengan persoalan ini, karena mereka memberi pengaruh kepada masyarakat,” katanya.
Buya Gusrizal berpendapat,penguatan akan program-program keagamaan di masjid, surau, dan rumah tahfiz harus jelas. Penguatan program tersebut memang harus diawasi oleh pemangku kepentingan dan masyarakat. Dan ini harus sampai langsung ke lembaga-lembaga terkait di daerah.
“Setiap ulama harus punya surau binaan. Tidak lupa juga untuk mendukung peningkatan kualitas pendakwah agar ke depannya penerapan agama di Sumbar berkembang lebih baik. Insya Allah penerapan ABS-SBK itu akan dapat kita tuai secara perlahan, jika kita benar-benar siap mengurusinya,” ujar Buya Gusrizal. (*)