PADANG, HALUAN – Ketahanan keluarga dinilai sebagai kunci utama dalam upaya melindungi anak-anak, agar tak menjadi korban aksi kekerasan seksual yang belakangan marak terjadi di Sumatra Barat (Sumbar). Selain itu, upaya penguatan pemahaman agama dan adat di tengah masyarakat juga tak kalah penting untuk ditingkatkan secara masif.
Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, M. Sayuti Datuak Rajo Panghulu menyebutkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak terlepas dari mulai pudarnya peranan mamak dalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau. Sehingga, anak-anak tidak lagi mendapatkan pendidikan dan pengawasan yang cukup di lingkungan keluarga sendiri.
“Dalam kebudayaan Minangkabau, terdapat ungkapan anak dipangku kemenakan dibimbing, dan ini yang sudah mulai hilang dalam masyarakat kita hari ini. Jangankan peran mamak, hari ini pun kadang orang tua ada yang kurang memperhatikan anak-anak mereka, karena kesibukan mencari uang, ” ujar M. Sayuti kepada Haluan, Senin (22/11).
Termasuk juga, sambung Sayuti, peranan dan pengawasan Tungku Tigo Sajarangan yang terdiri dari niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai, yang harus ditingkatkan kembali dalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau. Sebab, minimnya peranan Tungku Tigo Sajarangan dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga memicu masalah sosial seperti kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Menurut Sayuti, niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai harus dapat mengintensifkan kembali pelaksanaan peran dalam mengawasi dan mengayomi anak kemenakan. Sehingga, tanggung jawab pengawasan anak tidak hanya dibebankan kepada keluarga inti, tetapi juga menjadi tanggung jawab keluarga luas hingga lingkungan sekitar.
“Banyaknya kasus pencabulan yang terjadi dan melibatkan orang terdekat belakangan ini adalah pertanda mulai pudarnya peranan itu, terutama di kalangan keluarga, dalam mengawasi anak dan kemenakan yang mestinya selalu mendapatkan perhatian dan pengayoman, ” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua Persatuan Bundo Kanduang Sumbar, Puti Reno Raudha Thaib, yang menyebut bahwa maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak disebabkan oleh rapuhnya ketahanan sosial keluarga, sehingga menyebabkan makin berkurangnya pengawasan dan kepedulian terhadap anaknya.
“Tidak berperan dengan baiknya hubungan sosial suatu keluarga dengan tetangganya, yang menyebabkan semakin kurangnya pengawasan dari orang-orang terdekat untuk anak. Sehingga, akhirnya anak terpaksa menjadi sasaran atas kerapuhan akan ketahanan sosial keluarga itu sendiri,” ujarnya.
Raudha berpendapat, rapuhnya ketahanan sosial keluarga itu menyebabkan lemahnya pemikiran dan pemahaman orang tua terhadap nilai-nilai adat dan agama, serta tidak bisa lagi mengajarkan pemahaman adat dan budaya yang baik kepada anak.
“Kasus kekerasan seksual terhadap anak sangat jelas disebabkan oleh kurangnya pengetahuan adat dan agama. Pengawasan dari masyarakat juga makin lemah, yang menyebabkan pemikiran dipenuhi dengan rasa dan tindakan yang tidak baik. Sehingga, anak-anak pun menjadi sasaran atas lemahnya semua sisi tersebut,” katanya lagi.
Menurut Rhauda, peran adat dan agama harus kembali diperkuat mulai dari lingkungan keluarga, guna mencegah dan melindungi anak dari potensi menjadi korban kekerasan seksual. Sebab, pehamanan agama dan adat yang baik tentu akan menjaga orang untuk melakukan tindakan yang tidak menyimpang.
“Pemahaman orang tua akan nilai-nilai adat dan agama adalah pondasi dasar, karena jika adat dan agamanya baik, pasti tidak akan ada pemikiran yang seperti itu,” tuturnya lagi.
Perbaiki Sistem Pendidikan
Sementara itu, Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal atau kerap disapa Mak Katik menilai, bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena hubungan sosial yang rusak di tengah masyarakat. Ditambah lagi, pengawasan dari lingkungan semakin harus semakin hilang.
“Adat Minangkabau mengajarkan hidup bukan untuk Baanak Bainduak saja, tapi juga Bamamak Bakamanakan. Artinya, pengajaran terhadap nilai-nilai yang baik kepada anak perlu diajarkan juga oleh mamak di kaumnya,” katanya.
Mak Katik menilai, tumbuh kembang anak-anak di Sumbar saat ini mulai jauh dari pengajaran nilai adat dan budaya. Ia memisalkan, peran kaum dalam mendidik anak cucu, peran mamak yang melemah, bahkan tidak dilibatkan lagi, karena orang tua merasa bisa mendidik anaknya sendiri.
“Orang tua yang merasa itu hanya urusannya, ternyata tidak memiliki juga pengetahuan dan cara yang baik dalam mendidik anak sesuai pada tempatnya,” ujarnya lagi.
Menurut Mak Katik, perlu adanya perbaikan dalam sistem pendidikan Minangkabau yang bersinergi langsung dengan masyarakat, pemuka adat-agama, dan pemerintah. Terutama dalam menyisipkan kembali pemahaman akan adat dan agama yang sejalan dengan falsafah Minangkabau, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah kepada orang tua, lingkungan, dan juga anak.
Selain itu, Mak Katik juga mengharapkan, sinergitas pemerintah ke depan bukan hanya untuk memberantas permasalahan yang ada. Tapi mulai membentuk dan membina kembali pemahaman adat Minangkabau dan agama sebagai pegangan masyarakat.
“Perlu menggerakkan kembali peranan mamak dalam mengawasi anak dan kemenakannya. Tidak cukup dengan pengawasan kedua orang tua saja dan orang tua pun perlu diawasi juga. Adat kita telah jauh mengajarkan kalau orang tua yang terkadang sibuk bekerja, maka ada mamak yang akan berperan dalam mendidik kemenakannya,” kata Mak Katik.
Kasus Meroket di Padang
Sementara itu, saat konferensi pers di halaman Mapolresta Padang terkait pengungkapan kasus kekerasan seksual yang menyasar anak di bawah umur, Kapolresta Padang Kombes Pol Imran Amir mengimbau seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap anak laki-laki maupun perempuan di bawah umur.
“Mengingat banyaknya kasus yang menyasar anak perempuan maupun laki-laki di bawah umur, tidak hanya dibutuhkan pengawasan dari keluarga, tapi juga dibutuhkan pengawasan dari lingkungan tempat tinggal, mengingat banyaknya kasus kekerasan yang melibatkan keluarga terdekat sebagai pelaku,” ujarnya kepada wartawan, Senin (22/11).
Selain itu, untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, pihaknya juga telah mengaktifkan deteksi dini dan pengawasan melalui unit-unit perlindungan anak dan perempuan yang ada di setiap Polsek di Kota Padang. “Kami terus melakukan pemantauan dan pengawasan. Jika ada laporan ataupun aduan, akan segera kami tindaklanjuti dan pastikan bahwa korban mendapatkan keadilan serta proses rehabilitasi yang layak,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga mengungkapkan bahwa dalam rentang Januari hingga November, pihaknya berhasil menangani 85 kasus kekerasan seksual yang menyasar anak di bawah umur, rata-rata pelaku menurutnya didominasi oleh orang-orang terdekat dengan korban yang berasal dari lingkungan keluarga.
“Para pelaku yang berhasil kami amankan umumnya berusia pada rentang 45 hingga 70 tahun dengan status sebagai ayah, kakek, paman, hingga tetangga dekat korban. Pada kasus terakhir, kami juga mengamankan dua pelaku di bawah umur yang saat ini telah dinyatakan sebagai Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH),” ujarnya lagi. (h/mg-jum/mg-fzi)