PADANG, HALUAN — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyentil pemerintah daerah (Pemda) dengan reaslisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang masih rendah menjelang pergantian tahun. Di Sumbar sendiri, sebagian besar organisasi perangkat daerah (OPD) juga masih berjibaku mengoptimalkan serapan anggaran.
Gubernur Sumbar Mahyeldi menyebutkan, realisasi APBD 2021 hingga triwulan III pada sejumlah OPD memang terpantau masih rendah. Setidaknya, terdapat 24 OPD di bawah naungan Pemprov yang berada di bawah garis merah, dan baru 10 OPD yang mencatatkan serapan yang cukup tinggi.
“Sampai triwulan III masih ada yang di garis merah. Ini harus ada percepatan realisasi sehingga pada akhir tahun bisa di atas capaian pemerintah pusat,” kata Mahyeldi saat memimpin Rapat Realisasi APBD 2021 di Bukittinggi, Selasa (23/11).
Menurut Mahyeldi, dukungan anggaran, termasuk dana dari pemerintah pusat, sangat dibutuhkan dalam memulihkan dan menggerakan perekonomian Sumbar. Terutama sekali dalam momentum fase untuk bangkit setelah hantaman krisis ekonomi karena pandemi.
OPD, sambung Mahyeldi, diminta lebih inovatif mendorong program-program dan anggaran dari pemerintah pusat yang dialokasikan di Sumbar. Apalagi, sepanjang 2021 sejumlah Menteri telah melakukan kunjungan kerja ke Sumbar dan “membawa” sejumlah proyek nasional.
“Tahun 2021 ini sudah ada pertemuan dengan beberapa kementrian seperti Bappenas, PU PR, Menko Maritim, dan Kementerian Investasi, yang harus ditindaklanjuti. Maka dari itu, OPD jangan hanya pandai meminta, tapi alokasikan dulu anggaran di daerah sebagai bentuk keseriusan, baru minta tambahannya ke pusat,” katanya lagi.
Selain mempercepat serapan anggaran, Mahyeldi menambahkan, seluruh potensi yang ada juga harus dikerahkan untuk memulihkan perekonomian dareah, terutama sekali dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi Sumbar pada triwulan IV yang dipatok sebesar 6,5 persen, yang membutuhkan pegerakan uang di Sumbar sekitar Rp3,5 triliun.
“Untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi 1 persen saja, itu dibutuhkan dana masuk dan berputar di Sumbar sekitar Rp1,16 triliun. Jadi, untuk mencapai 6 persen, butuh sekitar Rp3,5 triliun. Ini yang harus kita upayakan,” ujarnya.
Kemenkeu sendiri mencatat, APBD sejumlah daerah surplus 15,27 persen atau setara Rp111,5 triliun, di mana pendapatan daerah mencapai Rp841,6 triliun, yang lebih tinggi ketimbang serapan belanja daerah senilai Rp730,1 trilun. Total, terdapat 493 daerah yang mencatatkan surplus, dengan rincian 30 provinsi, 375 kabupaten, dan 88 kota.
“Pemerintah pusat sedang berusaha mendorong pemulihan ekonomi dengan countercyclical melalui defsit yang mencapai Rp548 triliun, tetapi daerah justru menahan belanja sehingga terjadi surplus,” kata Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Selasa (23/11).
Menurut Sri Mulyani, surplus anggaran yang cukup besar di daerah menyebabkan efektivitas dorongan kebijakan belanja pemerintah pusat dan daerah untuk pandemi menjadi tidak sinkron. Terutama sekali dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Bahkan, Sri Mulyani menyebutkan, persentase belanja daerah terhadap pagu masih sangat kecil yakni hanya 59,62 persen dari Rp1.224,7 triliun, ditambah saat ini sudah memasuki pengujung tahun. Menurutnya, dengan sisa waktu dua bulan, Pemda masih punya anggaran Rp494,6 triliun yang harus dihabiskan jika ingin mencapai realisasi 100 persen.
“Kalau dilihat di berbagai daerah, rata-rata berbelanja hanya sekitar 50 persen paling tinggi, hanyak Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang di atas 66 persen. Mayoritas belanja daerah digunakan untuk membayar gaji pegawai yang mencapai Rp297,37 triliun, belanja modal terealisasi Rp67,64 triliun, belanja barang dan jasa Rp198,3 triliun, dan belanja lainnya Rp166,82 triliun,” katanya.
Di samping itu, sambung Sri Mulyani, Pemda sebelumnya diminta menyediakan anggaran daerah untuk kebutuhan penanganan pandemi, yang totalnya Rp54,8 triliun dan bersumber dari hasil earmark 8 persen DAU/DBH, penyaluran DID, penyaluran dana desa, serta penyaluran BOK untuk Covid-19.
“Lambannya belanja daerah bukan hanya untuk kebutuhan umum, tetapi juga pada belanja bidang kesehatan dan perlindungan sosial yang berkaitan dengan penanganan pandemi. Kita tentu harus menjaga tidak boleh ada korupsi, tapi bukan berarti kita tidak berani belanja. Ini nasihat yang terus diberikan kepada K/L dan daerah,” kata Sri Mulyani.
Hal yang sama juga disampaikan Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, bahwa Pemda harus mempercepat realisasi belanja APBD 2021, sebagaimana telah diinstruksikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebab serapan anggaran akan berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi secara nasional.
“Belanja daerah mengakibatkan uang beredar di tengah masyarakat. Dampaknya, daya beli dan konsumsi di tingkat rumah tangga juga akan meningkat. Selain itu, belanja APBD juga dapat menstimulus pihak swasta yang keuangannya mengalami kontraksi akibat pandemi Covid-19,” ujarnya.
Di samping itu, sambung Tito, percepatan realisasi belanja itu juga berkaitan dengan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan tumbuh sebanyak 5 persen pada akhir 2021. Sehingga, butuh dukungan dari pemerintah daerah melalui realisasi belanja APBD.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri per 19 November 2021, rata-rata persentase realisasi belanja APBD Provinsi TA 2021 sebesar 65,12 persen. Sedangkan rata-rata persentase realiasi belanja APBD Kabupaten sebesar 61,15 persen dan Kota 59,08 persen.
Sementara itu, bila dilihat dari tren 3 bulan terakhir, persentase realisasi belanja APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota TA 2020-2021 memiliki kondisi yang beragam. Misalnya, realisasi belanja pada Oktober TA 2021 sebesar 56,97 persen.
Angka ini lebih rendah dibanding Oktober TA 2020 yang mencapai 58,94 persen. Namun, jumlah uang yang beredar pada Oktober TA 2021 mampu mencapai Rp 718,47 triliun, lebih besar dibanding capaian pada Oktober TA 2020 yang hanya Rp 715,36 triliun.
Adapun realisasi belanja pada November TA 2021 mencapai 62,12 persen, dengan uang yang beredar sebanyak Rp 788,07 triliun. Sedangkan pada November TA 2020, realisasi belanja mencapai 67,98 persen dengan uang yang beredar sebanyak Rp 837,18 triliun.
“Pemda segera mempercepat realisasi belanjanya, terutama jelang akhir tahun yang hanya menyisakan waktu kurang lebih satu bulan. Apalagi berdasarkan data Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, masih ada 20 kota dan 20 kabupaten yang presentase belanjanya terkecil. Bahkan ada yang realisasinya belum mencapai 50 persen,” kata Tito. (h/sdq)