Harapan Anak Muda di Pilgub Sumbar 2024: Proyek Transisi Energi Bersih Tak Boleh Rampas Hak Rakyat

 

PADANG,HARIANHALUAN.ID– Puluhan orang aktivis mahasiswa, advokat dan jurnalis pejuang keadilan dari berbagai penjuru Sumatra Barat berkumpul dan berkonsolidasi dalam forum Workshop bertajuk ‘Dampak Pembangunan Proyek Energi Bagi Masyarakat Sekitar’ pada  Jumat hingga Minggu (12-15) September kemarin.

Workshop Advokasi Hak Asasi Manusia (HAM) yang digelar (LBH) Padang itu, menghasilkan sejumlah rekomendasi dan catatan penting bagi kedua pasang kandidat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar yang akan berlaga pada kontestasi  Pilgub Sumbar 2024 di bulan November mendatang.

Utamanya soal kejelasan nasib puluhan ribu masyarakat Sumbar yang berpotensi akan tergusur dan terancam sumber penghidupannya atas kehadiran sejumlah mega proyek transisi energi bersih yang akan berjalan di sejumlah lokasi di Sumatra Barat.

Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah terus  berupaya mengakselerasi transisi energi bahan fosil ke bahan bakar Energi Baru Terbarukan (EBT) lewat kebijakan suntik mati Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dalam upaya menanggulangi dampak krisis iklim global.

Saat ini, pemerintah pusat  berupaya membangun  Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Hidrotermal di sejumlah lokasi yang dianggap potensial di berbagai penjuru tanah air. Termasuk di Sumatra Barat.

Mega proyek pembangunan transisi energi bersih ini, harus dipastikan Clean and Clear serta tidak menjadi gerbang awal dimulainya jeratan konflik agraria yang membelit dan  menyengsarakan masyarakat lemah tak berdaya di Sumatra Barat.

“Menyambut proyek transisi energi bersih yang dilakukan pemerintah, Kandidat Gubernur Sumbar lima tahun kedepan harus punya visi dan keberpihakan yang jelas terhadap masyarakat terdampak rencana proyek pembangunan transisi energi bersih ”  ujar Afrilni, salah seorang peserta Workshop.

Aktivis perempuan paruh baya ini menuturkan, penolakan masyarakat terhadap proyek pembangunan PLTP oleh PT Hitay Daya Energi di  Gunung Talang Kabupaten Solok beberapa waktu lalu, harus menjadi pembelajaran penting bagi seluruh pemangku kepentingan di Sumatra Barat.

Konflik agraria atau gelombang  penolakan masyarakat yang muncul saat itu, tidak terlepas dari abainya pemerintah terhadap jalannya prinsip penghargaan Free Prior Informed Consent (FPIC) atau hak masyarakat adat untuk menolak atau menyetujui suatu proyek pembangunan yang akan berjalan di wilayah mereka.

Oleh sebab itu, kekuasaan di Sumatra Barat kedepannya , harus benar-benar dipegang oleh sosok yang bersih, anti suap, tidak korupsi, serta  punya keberpihakan yang jelas bagi nasib masyarakat terdampak proyek transisi energi bersih maupun Proyek Strategis Nasional (PSN)  yang akan berjalan di Sumatra Barat.

“Pemerintah tidak boleh investor sentris. Tanah ini milik rakyat. Harus dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Pemerintah daerah tidak boleh ikut-ikutan mengkhianati rakyat demi melayani pengusaha dan oligarki,” jelasnya.

Peserta Workshop lainnya, Rolan Saputra menambahkan, Indonesia hari ini kian tidak baik-baik saja. Rezim pemerintah pemegang kuasa hari ini kian mesra serta seolah telah menjadi kaki tangan investor cukong-cukong oligarki.

Situasi itu, menyebabkan letusan konflik agraria di berbagai daerah di tanah air termasuk di Sumatra Barat. Berlangsungnya mega proyek energi bersih yang menjadi bagian dari rencana penanggulangan krisis iklim internasional ini, tidak boleh menjadi babak baru penindasan negara terhadap rakyat.

“Sumatra Barat  menjadi salah satu daerah yang akan dijadikan lokasi proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi atau Geothermal. Beberapa lokasi diantaranya adalah di kaki gunung Talang, kaki  gunung Singgalang-Tandikek dan di Kaki Gunung Pasaman,” ungkapnya.

Rolan yang berasal dari Nagari Talu, Pasaman Barat ini menerangkan, rencana pembangunan PLTB Geothermal di kampung halamannya berpotensi menjadi sumber prahara baru. Proyek transisi energi bersih itu akan berdampak langsung terhadap ribuan hektar sawah dan lahan pertanian masyarakat.

“Belum dimulai saja sikap masyarakat sudah terpecah. Ada Pro dan Kontra. Kami khawatir, pemerintah akan memainkan politik belah bambu yang selalu menjadi jurus andalan mereka dalam setiap kasus konflik agraria,” jelasnya.

Ronal menekankan, rencana pembangunan PLTB Geothermal di kaki Gunung Pasaman, sudah pasti akan berdampak langsung terhadap sumber penghidupan ribuan masyarakat petani yang ada di salah satu daerah lumbung penghasil padi di Sumatra Barat tersebut.

Untuk itu, pemerintah daerah mulai dari tingkat Provinsi hingga Kabupaten Kota harus mampu menghadirkan solusi terbaik bagi masyarakat jika memang proyek pembangunan PLTB Geothermal itu pada akhirnya akan tetap dilanjutkan.

“Proyek transisi energi bersih yang dilakukan pemerintah tidak boleh dijalankan dengan cara-cara merampas, mengintimidasi dan  mengusir rakyat dari tanahnya. Kita butuh Gubernur yang berani dan punya komitmen yang jelas dalam melindungi hak-hak masyarakat lemah tak berdaya,” pungkasnya. (h/*)

Exit mobile version