Gubernur Mahyeldi : Mengenang PDRI Adalah Cara Kita untuk Merawat Keutuhan Bangsa

Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah (dua dari kanan) bersama pemangku kepentingan terkait, saat berkunjung ke Rumah PDRI di Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, pada akhir Juni 2021 lalu. IST

PADANG, HALUAN — Hari Bela Negara (HBN) yang diperingati setiap tanggal 19 Desember adalah wujud penghormatan atas perjuangan pendirian Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 19 Desember 1948 yang beribu kota di Bukittinggi. Di tengah ancaman Agresi Militer Belanda II, PDRI menegaskan bahwa Indonesia Masih Ada.

Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah menyebutkan, momentum berdirinya PDRI selama kurun 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949 di bawah kepemimpinan Syafruddin Prawiranegara selaku penerima mandat dari Soekarno-Hatta dan pemimpin bangsa lainnya, adalah momentum “penyambung nyawa” bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Walaupun umur PDRI ini relatif singkat, yaitu sekitar 270 hari, tetapi PDRI adalah penyambung nyawa bagi NKRI. Sehingga, kita sebagai bangsa tetap terpelihara dalam satu kesatuan yang utuh hingga hari ini,” ucap Mahyeldi saat berkunjung Rumah PDRI di Nagari Silantai, Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, akhir Juni lalu.

Oleh karena itu, kata Mahyeldi, segenap usaha dan upaya harus dikerahkan agar momentum PDRI selalu dikenang oleh anak bangsa, terutama sekali di Sumatra Barat sebagai daerah basis utama berdirinya PDRI pada 1948 silam. Sebab dengan selalu mengenang PDRI, Mahyeldi menilai semangat untuk mempertahankan bangsa ini akan selalu berkobar di dada anak bangsa.

“Kita tidak boleh melupakan sejarah, apalagi sejarah perjuangan bangsa. Termasuk momentum PDRI, yang harus menjadi pengingat bagi kita, dan menjadi penyemangat untuk senantiasa merawat bangsa dan negara ini,” ucapnya lagi.

Salah satu upaya yang dilakukan Pemprov dan masyarakat Sumbar sendiri, sambung Mahyeldi, adalah mempercepat penuntasan pembangunan Monumen Nasional PDRI di Koto Tinggi, Kabupaten Lima Puluh Kota, yang hingga kini masih belum rampung 100 persen. “Pemprov hingga saat ini masih terus meminta dukungan berbagai kementerian dan lembaga di pusat, agar pembangunan monumen penting tersebut segera tuntas,” ucapnya lagi.

Eksistensi PDRI

Di dunia akademik, nama Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP) Prof. Mestika Zed, merupakan tokoh penting yang melakukan penelitian dan menulis fakta sejarah tentang PDRI. Salah satu buku utamanya adalah, “Somewhere in The Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia”, yang rilis pertama kali pada 1997.

Sebelum tutup usia pada 1 September 2019 lalu, Prof Mestika yang sangat dihormati karena dedikasinya dalam penelitian sejarah, masih berulang kali tampil di berbagai seminar dan dialog tentang PDRI mau pun tema sejarah lainnya. Salah satunya, saat ia menyampaikan Makalah Pengantar untuk Seminar Sehari dalam Rangka Peringgatan PDRI-Hari Bela Negara (HBN) pada  9 Desember 2010 di Padang.

Dalam kesempatan itu, Prof Mestika menyebutkan, selama lebih kurang delapan bulan keberadaannya (Desember 1948 – Juli 1949), PDRI berhasil menjalankan tugas sebagai pemerintahan alternatif dalam suasana pengungsian. Sesuai dengan sifatnya, darurat, PDRI memimpin pemerintahan secara mobile, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sambil meneruskan perjuangan dengan gerilya.

“Meski dalam keadaan serba berkekurangan, PDRI pada gilirannya memainkan peran sentral dalam mengintegrasikan berbagai kekuatan perjuangan yang bercerai-berai di Jawa dan Sumatra, dan pada saat yang sama mendorong pemulihan perjuangan diplomasi dengan masyarakat internasional, termasuk dengan Dewan Kemananan PBB,” tulis Prof Mestika.

Sementara itu, Belanda yang meneruskan agresinya, sambungnya, menerobos masuk ke basis pertahanan Repulik di seluruh pelosok Jawa dan Sumatra. Di Sumbar sendiri khususnya, suasana menjadi kacau balau selepas Belanda sampai di Kototinggi, yang merupakan salah satu basis PDRI di Sumatera Tengah. Tepatnya pada tanggal 10 Januari 1949, yang berbuntut pada tragedi Situjuh Batur, yang menewaskan sejumlah pemimpin sipil dan militer Sumbar.

Sejak saat itu, sambungnya, pemerintahan militer PDRI kembali dikoordinasikan, di mana antara TNI, Polisi, dan kekuatan rakyat di kota dan nagari (BPNK) saat itu, bahu membahu dalam menyusun pertahanan dan keamanan. Bagi Prof Mestika, babak ini ialah salah satu babak utama perjuangan bangsa yang melibatkan seluruh komponen yang ada di dalamnya.

“Sesunguhnya, dalam episode sejarah PDRI inilah, perjuangan kemerdekaan senyata-nyatanya melibatkan semua komponen masyarakat, ketika panggung sejarah revolusi nasional beralih dari kota ke pedesaan, saat perjuangan melibatkan partisipasi rakyat dalam arti sesungguhnya, dan menjadi garda terdepan Republik dalam memberikan dukungan tenaga, material, dan nyawa,” ucap Prof Mestika. (h/adp)

Exit mobile version