PEKANBARU, HARIANHALUAN.ID — Kasus meninggalnya istri dari pasangan pengantin baru di salah satu penginapan di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, akibat dugaan keracunan karbon monoksida (CO) dari water heater berbahan gas LPG, mendapat perhatian serius dari Ir. Ulul Azmi, ST., M.Si., CST., IPM., ASEAN Eng., seorang Praktisi Nasional Keinsinyuran, K3, dan Pemerhati Keselamatan Publik.
Ulul Azmi juga merupakan Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Wilayah Provinsi Riau sekaligus Ketua Wilayah Termuda se-Indonesia.
“Kami sangat berduka atas peristiwa ini. Kejadian ini menjadi peringatan keras bagi seluruh pengelola hotel, penginapan, dan glamping di Indonesia untuk lebih memperhatikan aspek keselamatan publik, terutama penerapan prinsip CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environment Sustainability) yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,” ujar Ulul Azmi di Pekanbaru, Sabtu (11/10).
Menurutnya, kasus tersebut menggambarkan lemahnya pengawasan terhadap aspek keinsinyuran dan keselamatan instalasi energi di sektor wisata. Pemasangan water heater berbahan LPG di ruang tertutup tanpa ventilasi memadai sangat berbahaya karena dapat menghasilkan gas karbon monoksida yang tidak berbau, tidak berwarna, dan mematikan.
Ia menjelaskan, gas karbon monoksida dapat menyebabkan kematian dalam hitungan menit jika terakumulasi di ruang tertutup. Karena itu, instalasi berbahan bakar gas wajib mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) serta regulasi dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perindustrian, di bawah pengawasan tenaga ahli K3 dan insinyur bersertifikat.
Ulul Azmi menegaskan, prinsip CHSE harus diterapkan secara menyeluruh dan bukan hanya formalitas administratif. Unsur “Safety” dalam CHSE mencakup pemeriksaan sistem kelistrikan, gas, air panas, ventilasi, hingga proteksi kebakaran.
“Keselamatan publik tidak boleh sebatas slogan. Setiap hotel dan penginapan wajib diaudit secara berkala oleh auditor bersertifikat agar keamanan benar-benar terjamin,” tegasnya.