PADANG, HARIANHALUAN.ID – Usia dini dan kecamuk perang, ternyata bukan dalih untuk tidak belajar Al-Qur’an. Hal ini dibuktikan Syekh Ahmad Abdul Nasir, kecil. Pada usia 12 tahun, ulama kelahiran Gaza, Palestina, 26 September 1997 itu telah hafal Al-Qur’an 30 juz.
“Bacaan Al-Qur’an beliau begitu merdu. Lain dari yang lain, merasuk ke dalam qalbu,” ujar Abah, warga Lubuk Gading Permai (LGP) VI, Teluk Kabung Ganting, Koto Tangah, Padang.
Ya, ulama muda energik yang bernama lengkap Syekh Ahmad Abdul Nasir As’ad Alsafadi baru saja mengimami salat Isya warga LGP VI di Masjid Al Aziz Ibnu Abdussalam, sebelum peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW, Senin malam (27/1/2025).
Syekh Ahmad hafal Al-Qur’an 30 juz bersanad sejak usia 12 tahun. Menguasai ilmu maqamat, qiraat dan mampu menirukan 25 jenis suara qari/imam.
Pada tahun 2015, Ahmad meraih medali emas, juara terbaik Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di Palestina. Prestasinya ini mengantarkan dirinya sebagai Direktur Institut Ilmu Al-Qur’an dan Imam Besar Masjid Zakaria, Palestina.
Syekh Ahmad tercatat telah melahirkan 100 penghafal Al-Qur’an bersanad di Gaza, Palestina. Berbekal kemuliaan Al-Qur’an, putra Gaza ini melakukan perjalanan dakwah ke berbagai belahan negara, antara lain Oman, Turki, Uni Emirat Arab, Mesir, Malaysia dan Indonesia.
Di Indonesia, Syekh Ahmad menjejakkan kaki pertama kali tahun 2018, setelah itu 2019. Sampai sekarang, Syekh Ahmad sudah berdakwah di 100 kota di Indonesia, Padang salah satunya.
“Lama di Indonesia, mendorong saya untuk belajar bahasa Indonesia. Alhamdulillah, sudah bisa meski belum baik betul. Awak juga belum makan nih,” ujarnya berseloroh dengan jamaah Masjid Al Aziz, saat peringatan Isra Mi’raj di Padang.
Selain berdakwah keliling Indonesia, Syekh Ahmad sempat tampil di acara “Damai Indonesia” TV-One dan mengisi acara “Lentera Hati” di TVRI.
Cinta Al-Qur’an
Pada berbagai kesempatan dakwahnya, Syekh Ahmad sering berbagi cerita tentang kecamuk perang di Gaza, Palestina, dan kecintaan penduduknya menghafal Al-Qur’an.
“Bom berjatuhan di gedung-gedung, di masjid, di rumah sakit dan di permukiman warga. Banyak keluarga yang syahid. Baru-baru ini, adik saya yang jadi korban,” ujar Ahmad, mengenang.
Lahir di tanah Gaza, Palestina, membuat diri Syekh Ahmad merasakan langsung apa yang sering diberitakan di media lokal maupun media internasional. Serangan tentara Israel, blokade dan hujan bom yang hampir setiap hari terdengar tidak jauh dari rumahnya. Namun semua itu tidak menghentikan dirinya dan kawan-kawan Gaza lainnya untuk menghafal Al-Qur’an.
Syekh Ahmad kecil melakukan perjalanan jauh hingga lima kilometer untuk sekedar datang ke rumah guru mengaji dan belajar Al-Qur’an. Akses listrik di kampungnya kala itu hanya diberikan empat jam di malam hari setiap harinya. Waktu tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menguatkan hafalan Al-Qur’an.
Belum lagi perjuangan jihad yang dilakukan oleh guru dan teman-teman Syekh Ahmad kecil, dimana ini mengakibatkan wafatnya mereka. Bisa dalam satu waktu, anak-anak di sana akan belajar dengan guru mengaji lain kalau sang guru sebelumnya telah wafat. Syekh Ahmad sendiri menyampaikan tujuh temannya telah wafat akibat situasi tersebut.
Melihat pesantren sebagai tempat belajar dan mendalami Al-Qur’an di Indonesia membuat Syekh Ahmad kagum. Di Indonesia tidak ada peperangan. Hidup aman dan tentram. Listrik dan air mengalir 24 jam.
“Kepada saudara-saudara saya di Indonesia, saya selalu berpesan, bersyukurlah. Jangan sia-siakan kenikmatan ini. Datanglah ke masjid, belajarlah Al-Qur’an. Khusus untuk laki-laki dewasa, tunaikan salat berjamaah di masjid. Insyaallah, hidup berkah,” ujarnya.
Dalam kondisi perang yang panjang, kondisi kehidupan yang sangat sulit, serta kematian demi kematian yang silih berganti, maka Al-Qur’an merupakan sumber kekuatan bagi masyarakat muslim Palestina.
Al-Qur’an bagi muslim Palestina adalah ketenangan dan memberikan kabar gembira. Sehingga tak heran apabila masyarakat Palestina memiliki spirit hidup yang tinggi dan tetap bersemangat dalam memperjuangkan tanah Palestina, karena mendapat kekuatan dari Al-Qur’an.
Menghafal Al-Qur’an tidak hanya menjadi budaya di keluarga-keluarga Palestina. Akan tetapi juga di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Selain aktivitas sekolah, kebanyakan anak-anak Palestina mendatangi semacam perkemahan tahfiz untuk menyetorkan hafalan Al-Qur’an dan mendapat hafalan-hafalan yang baru.
Di rumah, orang tua, ayah dan ibu, serta anggota keluarga lainnya, juga jadi penghafal Al-Qur’an. Begitu juga para pemimpin di Palestina, tentara-tentaranya, bahkan warga yang ditawan di penjara oleh Israel pun menghafal dan saling menyetorkan hafalan Al-Qur’an. Masya Allah. (*)