PADANG, HARIANHALUAN.ID — Mata lelaki berusia 41 tahun itu mengarah tajam ke kejauhan. Matanya tak berkedip sedikitpun. Karena dia tahu, lengah sedikit, nyawa taruhannya. Begitu incarannya terlihat, tangannya langsung cekatan menekan tombol merah di depannya.
Perlahan, palang pintu turun dan menutup kedua jalur kendaraan bermotor. Afrizul kemudian keluar dari pos jaganya. Afrizul adalah penjaga pintu perlintasan kereta api di Lubuk Buaya, Padang.
Lelaki yang akrab disapa Zul itu dituntut cekatan dan fokus kala bertugas. Sebab, nasib pengendara sepeda motor dan mobil ada di tangannya. Salah perhitungan, nyawa melayang.
‘Begitu terlihat kereta api, palang pintu langsung diturunkan,” ujar lelaki asal Agam itu.
Zul sudah delapan tahun menjaga pintu perlintasan. Selama itu pula suka duka dirasakannya. Banyak cerita yang dilaluinya sejak menjadi penjaga pintu perlintasan kereta api.
“Paling sering didapati pengendara yang menerobos atau mematahkan palang pintu,” ucapnya saat membuka cerita.
Zul tidak pernah terlambat menurunkan palang pintu ketika kereta datang. Semua dilakukannya tepat waktu. Namun justru pengendara banyak yang tak sabaran sehingga menabrak dan mematahkan palang pintu.
“Dari jauh kita sudah bunyikan alarm. Tapi masih ada saja yang membandel,” ungkap lelaki dua anak itu.
Zul mencatat, palang pintu yang ditabrak dan patah kerap terjadi setiap tahun. Dalam setahun minimal terjadi delapan kali patah palang pintu. “Karena banyak yang tidak sabaran,” ujarnya.
Ketika terjadi insiden patah palang pintu, Zul tidak tinggal diam. Zul akan segera berlari ke arah jalur yang tidak terhalangi palang pintu.
Berbekal rambu forbidden dan bendera merah, Zul kemudian menutup jalan agar tidak ada kendaraan yang menerobos saat kereta api lewat. “Kita tentunya tidak ingin terjadi insiden,” sebut Zul.
Selain kejadian itu, di perlintasan juga kerap ditemui pengendara yang terjatuh akibat slip melewati rel. Terutama di saat hujan. Rel akan licin, ditambah lagi posisi rel yang merintangi jalan. (*)














