Roberia mengaku, sedari kecil dirinya bukanlah siswa yang pandai belajar, sehingga tak pernah menjadi juara kelas saat SD. Namun, pada tiga tahun terakhir di sekolah dasar sampai menduduki bangku sekolah menengah, ia mulai menunjukkan kecerdasannya hingga mendapat peringkat tiga besar di kelas.
“Keseriusan saya belajar itu paling terlihat ketika di SAKMA. Sebab, ketika itu ada beasiswa berupa gratis SPP selama beberapa bulan kalau menjadi juara kelas dan saya mendapatkannya,” kata Robe.
Setelah menyelesaikan empat tahun pendidikannya di SMAK Padang, pada tahun 1990, Roberia merantau ke ibu kota Jakarta. Bersama enam temannya, ia mencoba peruntungan karier dengan berbekal ijazah sekolah.
“Memang harus merantau, karena peluang kerja tamatan SAKMA itu banyaknya di Pulau Jawa. Namun, untuk tembus lamaran kerja juga sulit dan butuh waktu, sampai akhirnya saya coba jadi kuli untuk menyambung hidup di rantau,” kenangnya.
Saat itu, Roberia menerima tawaran kuli dari Ketua RT tempat tinggalnya, karena keuangan yang sudah menipis selama merantau. Ia menyebut, teman-teman seperantauannya satu persatu mulai bekerja, menyisakan dirinya yang masih sibuk melamar di banyak tempat.
“Dibanding teman-teman lainnya, nilai paling tinggi itu saya. Namun, yang duluan bekerja itu bukan berdasarkan nilai siapa yang paling tinggi atau siapa yang paling pintar, tetapi sesuai kehendak Allah yang maha pemberi rezeki,” kata dia.
Kendati begitu, ia tetap optimis hingga akhirnya mendapat pekerjaan sebagai buruh di pabrik cat pada tahun 1991. Namun, masa kerjanya cukup singkat karena risiko kerja yang tinggi.
Petualangan Roberia dalam mencari pekerjaan pun akhirnya berlabuh di PT Multi Bintang Indonesia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri minuman bir. Ketika itu, ia memulai karier sebagai analis sembari menyelesaikan studi S1.