PARIAMAN, HARIANHALUAN.ID – Selama puluhan tahun, Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Delima yang berbasis di Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman ini telah aktif berperan melindungi, memulihkan, mendidik dan menyuarakan hak anak yang mendapatkan perlakuan salah dari lingkungan masyarakat. Namun, untuk menjalankan perannya terdapat banyak rintangan yang harus dihadapi.
Ketua RPSA Delima, Fatmiyeti Kahar menuturkan, masa awal berdirinya lembaga tersebut pada tahun 1990-an sering mendapat perlawanan dari masyarakat setempat. Perihal, RPSA Delima yang fokus pada korban kekerasan seksual, pencabulan dan pelecehan masih dianggap kasus tabu pada saat itu.
“Perjalanan RPSA ini sangat panjang dan penuh dengan tantangan, serta perlawanan dari masyarakat, yang mana pada masa itu kasis pelecehan dan pencabulan masih dianggap tabu. Namun, untungnya seiring waktu sudah banyak yang melek akan kasus ini dan menerima peran kami,” tuturnya, Kamis (6/2/2025).
Tidak hanya masyarakat yang sudah berpikiran terbuka, pemerintah setempat juga menunjukkan kepeduliannya dengan lembaga ini. Kendati begitu, RPSA Delima masih kerap memutar otak untuk mencukupi kebutuhan Anak Mendapat Perlindungan Khusus (AMPK) dan Anak Berurusan Hukum (ABH) yang sedang didampingi.
Tidak jarang, Fatmiyetti atau yang akrab dengan sapaan Teta Sabar ini mencukupi kebutuhan harian korban yang sedang didampingi melalui dana pribadi, di samping donasi masyarakat.
“Kita juga harus mencukupi kebutuhan korban yang sedang dilakukan pendampingan, seperti makan tiga kali sehari, keperluan mandi dan alat keterampilan untuk pembinaan. Biasanya pakai dana pribadi atau donasi dari masyarakat,” kata Teta.
Ia menjelaskan, pengeluaran harian untuk kebutuhan makan minum mencapai Rp60 ribu perorang. Sementara untuk kebutuhan lainnya diperkirakan menelan biaya Rp300 ribu.
“Kalau sedang banyak anak yang kami dampingi, maka terpaksa harus putar otak untuk mencari tambahan biayanya,” kata dia.