PARIAMAN, HARIANHALUAN.ID – Patung Tabuik yang identik dengan bentuk burak berkepala manusia dengan bagian atas yang menjulang tinggi dan berhiaskan elemen seperti tudung bunga raksasa, ternyata tidak hanya sekedar kerajinan dekoratif. Kebudayaan khas Kota Pariaman itu memiliki makna filosofis di balik setiap elemen pembentuknya.
Tuo Tabuik Pasa generasi kelima, Zulbakri menjelaskan, Tabuik dibuat dengan dua bagian utama yaitu pangkek ateh atau bagian atas dan pangkek bawah yang merupakan bagian bawahnya. Kedua bagian ini dibagi berdasarkan proses pembuatannya yang terpisah, hingga penyatuan yang disebut prosesi Tabuik naiak pangkek.
Pangkek ateh terdiri dari buruang atau burung Tabuik, bungo puncak, gomaik yang dihiasi mahkota salapah, bungo salapan, jantuang-jantuang, tonggak atam, tonggak miring dan biliak-bilik. Sementara pangkek bawah terdiri dari pasau pasau, burak, bungo salapan, jantuang-jantuang, tonggak serak dan pondasi Tabuik itu sendiri.
Menurut Zulbakri, setiap elemen tersebut mengandung makna filosofis yang menggambarkan kebudayaan Minangkabau, di samping simbolis peringatan peristiwa Padang Karbala dalam sejarah Islam.
“Seperti bungo salapan yang dominan pada Tabuik. Alasannya karena bungo salapan ini dibuat sesuai dengan falsafah orang Minang, khususnya Pariaman yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah,” jelas Zulbakri kepada Haluan, Kamis (19/6).
Ia menjabarkan, terdapat empat kelopak dengan menyimbolkan empat makna dengan kelopak pertama melambangkan Adat nan sabana adat, Adat nan diadatkan, Adat nan teradat, dan Adat istiadat. Kelopak kedua menyimbolkan kato nan ampek dalam adat Minang yaitu kato mandaki, manurun, malereang dan mandata.
Kemudian kelopak ketiga menyimbolkan empat khalifah Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib dan kelopak keempat melambangkan, empat Imam Mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Zulbakri menyebut, adanya bungo salapan menjadi pengingat bagi masyarakat Pariaman yang notabenenya beragama Islam bahwasanya adat dan agama saling berkaitan.
Simbol falsafah adat Minangkabau ini turut dipadukan dengan peringatan peristiwa di Padang Karbala yang menewaskan cucu Nabi Muhammad saw, Husein bin Ali bin Abi Thalib. “Seperti Gomaik yang berbentuk kendi, itu sebenarnya melambangkan tempat minum yang sering dibawa Husein,” jelas Zulbakri.
Setiap rangkaian prosesi Tabuik, merupakan peringatan terhadap peristiwa di Padang Karbala. Kendati begitu, sejak budaya Tabuik pertama masuk ke Pariaman, masyarakat setempat banyak menyesuaikan dengan budaya minangkabau juga.
Dikatakan Zulbakri, ornamen kalajengking yang menghiasi gomaik dibuat bukan hanya sebagai hiasan. Hewan yang termasuk ke dalam kelas arachnida ini rupanya melambangkan sifat orang Pariaman yang tenang, tetapi memiliki sistem pertahanan diri apabila diserang musuh.
“Karena orang Pariaman mengambil sifat dari kalajengking, diam tapi pantang lari ketika bertemu musuh. Sifatnya mencari kawan, tetapi kalau ada yang mengganggu pantang bagi kami untuk mengelak,” katanya. (*)