PAYAKUMBUH, HARIANHALUAN.ID – Beberapa waktu lalu, film produksi PYAC yang berjudul Bungo Rampai mendapat juara I dalam gelaran Malayapura Heritage Film Festival. Sebuah festival film yang diselenggarakan oleh Malayapura Films, sebuah komunitas film yang berbasis di Tanah Datar, Sumatera Barat. Festival ini terselenggara atas dukungan dari Kemenbud melalui Dana Indonesiana-LPDP.
Film pendek yang menceritakan kisah seorang ibu tua yang aneh, yang memilih sunyi sebagai teman. Kesepian itu kemudian ditaburkannya bersama dengan bunga-bunga rampai yang setiap hari ia beli di pasar. Setelah senja bunga itu ditabur di sungai dari atas sebuah jembatan.
Kebiasaan itu ia lakukan setiap hari, tanpa absen, dan telah lebih dari separuh umurnya. Setelah bunga-bunga itu hilir bersama air, ia selalu meratapinya dengan doa-doa. Oleh warga, jembatan itu dinamai Jembatan Ratapan Ibu. Jembatan yang membelah kota Payakumbuh itu menjadi saksi atas dieksekusinya suaminya oleh tentara pemerintah kala itu. Masa itu dikenal dengan masa pergolakan antara tentara pusat dan tentara daerah, PRRI.
Film reflektif historis itu disutradarai oleh Eko Doni Putra. Sineas muda kota Payakumbuh alumni jurusan TV dan Film, Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Padangpanjang. “Salah satu yang menjadi semacam peruntungan film ini adalah karena dikerjakan oleh banyak komite,” kata Edo, ketika ditemui di Gerobak Kopi.
“Sebagai sebuah kolektif, PYAC (Payakumbuh Youth Arte Committee) tentu tidak hanya diisi komite-komite seni seperti film, musik, dan lain sebagainya. Di dalamnya juga sejarawan. Film ini memang dimulai dengan riset sejarah oleh sejarawan Randi Reimena. Dan diberi sentuhan musik oleh musisi serba bisa Andes Satolari,” lanjut Edo.
Edo berharap, sebagai kota yang identik dengan aktivitas anak muda, Payakumbuh bisa menjadi salah satu kota dengan lumbung kreativitas yang menghasilkan karya film indie/alternatif yang ikut mewarnai keberagaman film secara nasional.
Dengan demikian, hasil kerja produksi dan kreativitas film tersebut menjadi pemicu hadirnya ruang-ruang menonton alternatif. Seperti layar tancap atau bioskop warga. Ruang ini tentu juga sekaligus mendorong munculnya diskusi-diskusi cerdas, baik di kalangan masyarakat umum, maupun anak-anak muda Payakumbuh khususnya.