HARIANHALUAN.ID – Sejumlah titik di Kota Payakumbuh mulai mengalami kemacetan pada jam-jam sibuk. Titik yang kerap terjadi macet adalah lokasi yang dekat dengan fasilitas umum seperti sekolah, pasar, persimpangan, hingga lampu merah.
Diketahui, sejumlah siswa sekolah yang masih termasuk dalam golongan masyarakat belum layak menggunakan kendaraan bermotor karena tak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) masih banyak membawa kendaraan ke sekolah, khususnya SMA/SMK/MA.
Fenomena ini membuat naiknya angka kecelakaan yang korbannya siswa sekolah. Tingginya angka kecelakaan terutama kasus kecelakaan siswa sekolah Data yang ada menunjukan bahwa angka kecelakaan di wilayah hukum Polres Payakumbuh tahun 2021 sebanyak 151 kasus dan korbannya dari kalangan pelajar sebanyak 73 orang (48,34 persen). Sedangkan jumlah kecelakaan tahun 2022 sebanyak 179 kasus dan korban dari pelajar sebanyak 97 orang (54 persen). Jumlah kecelakaan tahun 2023 (sampai bulan April) sebanyak 42 kasus sedangkan korban pelajar sebanyak 12 orang (28,57 persen).
Untuk mengantisipasi hal itu, Kepala Dinas Perhubungan Kota Payakumbuh Devitra mengatakan bahwa perlu komitmen bersama stakeholder terkait untuk pengurangan penggunaan kendaraan bermotor bagi siswa sekolah, dengan adanya strategi lintas sektor dalam menghadapi perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap ekonomi dan lingkungan.
Komiten bersama dengan stakeholder terhadap gagasan proyek perubahan ini sudah didukung dan disetujui oleh berbagai pihak terkait seperti organisasi perangkat daerah, Polres Payakumbuh, Cabang Dinas Pendidikan Wilayah IV Sumbar, Dinas Pendidikan Kota Payakumbuh, Kepala SMA/SMK/MA se Kota Payakumbuh, termasuk dukungan dari pengusaha jasa transportasi online seperti Gojek dan Maxim Payakumbuh.
“Kondisi di Kota Payakumbuh saat ini pada jam sibuk ada 15 titik kepadatan lalu lintas. Kami dari Dishub ikut membantu kepolisian untuk mengatur lalu lintas,” ujarnya, Senin (16/5).
Devitra menerangkan, dari hasil pendataan 75 sampai 80 persen siswa mengendarai sendiri kendaraan roda dua dari rumahnya ke sekolah, baik SMA, SMK, dan MA. Setelah dipaparkan kondisi tersebut kepada pihak sekolah, mereka juga tidak membantah.
“Opsinya tentu bagaimana mengarahkan agar siswa sekolah dapat memanfaatkan jasa angkutan kota,” katanya.
Sayangnya, angkutan kota (Angkot) belum terintegrasi di Kota Payakumbuh, yang ada hanya dari Kawasan Ngalau ke pasar pusat kota. Jumlahnya saja sekitar 36 unit, dan tidak pula semua beroperasi setiap hari. Tidak hanya itu, angkot yang ada juga sudah berumur tua, palingtinggi keluaran tahun 2005 atau 19 tahun lalu.
Menurut Devitra, salah satu opsi yang bisa dioptimalkan saat ini adalah penggunaan transportasi online berdasarkan zonasi siswa. Misalnya siswa ada lima orang, mereka memesan satu mobil online, kemudian ongkosnya mereka bayar bersama, misalnya ongkos dari Rp20 ribu, dibayar 4 ribu perorang.
“Dinas telah melakukan pendataan, dan kami merasa jika bisa dimanfaatkan transportasi online ini akan hemat biaya, harga BBM saat ini satu liternya sekitar Rp10.000,” ulasnya.
Devitra menyebut upaya pembatasan penggunaan kendaraan bermotor roda 2 bagi siswa sekolah dibarengi dengan menghadirkan layanan dari penyedia transportasi online. Kemudian, nanti kerja sama sosialisasi transportasi aman ke sekolah, hingga kemurahan tarif, ataupun subsidi.
“Penyedia kan juga bisa memberikan reward kepada pengguna aplikasi, misalnya kalau 10 kali penggunaan aplikasi, maka ada diskon ongkos, bahkan program lain yang bisa ditawarkan,” tuturnya.
Di lain sisi, kata Devitra, nantinya Satlantas Polres Payakumbuh mendukung untuk mengurangi kecelakaan dengan kerja sama. Dengan telah adanya alternatif siswa memanfaatkan jasa transportasi, kepolisian akan lebih mudah melaksanakan penegakan dan penindakan, karena selama ini susah dilakukan akibat layanan jasa transportasi masih kurang.
Terkait Kota Payakumbuh yang belum menyediakan kendaraan massal seperti halnya Trans Padang, dia menyebut pemko saat ini belum punya banyak anggaran, armada yang ada saat ini paling hanya dua bus sekolah yang didapat pada 2021.
“Dengan biaya yang besar akan memakan waktu cukup lama. Sementara kalau kita optimalkan penggunaan bus di Kota Payakumbuh, perkembangan dunia pendidikan tidak di kawasan pusat kota saja, juga ada di kawasan pinggiran, disana jalan tidak lebar, sehingga opsinya kita masih tetap memerlukan transportasi online,” pungkasnya. (*)