PAYAKUMBUH, HARIANHALUAN.ID – Payakumbuh, kota kecil itu, ternyata salah satu kota dengan aplikasi layanan publik yang cukup banyak. Setidaknya ada 15 aplikasi yang dibuat oleh berbagai instansi. Sebagiannya digunakan untuk kemudahan administrasi internal, sebagian lagi untuk kemudahan pelayanan publik.
Ada aplikasi MyKopay yang jadi semacam pusat informasi terkait lalu lintas, produk kuliner, hingga jadwal iven-iven sampai lowongan pekerjaan. Selain itu ada pula SiPaduko guna memudahkan pelayanan kesehatan di puskesmas-puskesmas; Qris Pajak Kota Payakumbuh dalam hal kemudahan pengurusan pajak; serta Silakeh SMART yang dibangun untuk memudahkan pelayanan di rumah sakit Adnaan WD Payakumbuh.
Kata Da Boy, komedian dan konten kreator asal Payakumbuh, semua itu bisa terjadi karena sosialisasi berbagai aplikasi itu masih memakai metode lama: pidato panjang pejabat terkait dan penyajian informasi yang terlalu kaku.
“Maaf, saja, masyarakat lebih suka konten dengan balutan humor dibanding konten-konten formal,” katanya di ajang Ngopini #4 Seri Diskusi Ekonomi Kreatif di Gerobak Kopi Simpang Benteng Payakumbuh, Selasa (23/7/2024) lalu.
Da Boy adalah salah satu teman ngobrol malam itu. Acara ngobrol-ngobrol seputar ekonomi kreatif itu, memang mengangkat tema “Cyber Creativity: Merancang masa depan Ekonomi Kreatif Dunia Digital”.
Tapi, Da Boy secara tidak langsung mengatakan berbagai instansi justru tidak kreatif di era digital ini. Menurutnya, pemerintah perlu mencari cara baru untuk menyosialisasikan berbagai programnya di media sosial. Salah satunya lewat komedi/humor.
Dan semua itu ia sampaikan langsung di muka Sekda Kota Payakumbuh, Rida Ananda. Tentu saja ia menyampaikan hal itu dengan gaya lawaknya, yang bikin orang-orang terpancing gelak tawanya.
Rida Ananda yang juga hadir sebagai teman ngobrol malam itu, juga ikut tertawa. Ia sendiri mengakui kalau pihaknya belum kreatif dalam menyosialisasikan programnya.
“Strategi sosialisasi lewat medsos memang harus di-upgrade,” katanya sambil menambahkan pemerintah memang perlu ruang dialog seperti Ngopini untuk tampung berbagai masukan, terutama dari pelaku ekraf Payakumbuh sendiri.
Ia pun setuju dengan saran Da Boy agar konten-konten sosialisasi program mesti dikemas dengan cara baru dan kreatif, termasuk kolaborasi dengan konten kreator seperti Da Boy.
Rida juga menjelaskan soal rencana-rencana ke depan demi wujudkan Payakumbuh sebagai smart city. Namun ada satu poin yang ditekankannya: bahwa perancang 15 aplikasi itu semuanya adalah anak-anak muda Payakumbuh.
“Anak-anak muda kita kreatif sekali. Baru-baru ini ada yang buat aplikasi untuk mengukur kadar kebersihan air. Ini sangat inovatif dan akan kita dorong untuk segera patenkan karyanya itu,” sambungnya.
M Ikhsan yang duduk di sebelahnya sebagai salah satu teman ngobrol, termasuk dalam kategori ‘anak muda kreatif’ yang dibilang Rida. Ia kini punya aplikasi bernama FunSport. Aplikasi itu, ia rancang agar para penggemar fun football dan fun futsal bisa mengakses informasi soal ketersediaan lapangan untuk disewa dan info-info lainnya.
“Jika teman-teman jadi user FunSport, bisa pesan lapangan sesuai jadwal yang diinginkan. Juga bakal disediakan wasit, jersei, hingga fotografer buat abadikan momen-momen saat bermain,” jelasnya sambil menambahkan kini FunSport punya 1.200 user.
Diskusi berlanjut. Tidak hanya soal pemerintah yang perlu meng-upgrade strategi promosinya di medsos, diskusi terus berkembang ke arah penting kolaborasi antar pelaku ekraf. Jika pemerintah sampai saat ini terkesan berjarak dengan para konten kreator, maka pelaku ekraf melakukan hal sebaliknya.
Kembali menurut Da Boy, ia memang jarang-jarang sekali dapat ajakan kolaborasi dari instansi pemerintah. Terakhir, ia pernah kolaborasi bikin konten dengan salah satu sekolah negeri. Tapi ia cukup sering kolaborasi dengan brand-brand lokal, dan hasilnya bisa dongkrak penjualan. Setidaknya konten-konten kolaborasi, bisa tingkatkan awareness netizen akan suatu brand.
“Masyarakat akan lebih mudah serap informasi dalam bentuk komedi untuk memancing keingintahuan mereka terhadap program yang disosialisasikan. Ini sudah dilakukan oleh brand lokal, dan efeknya lebih luas,” kata komedian yang pada 2018 lalu meluncurkan buku cerita Minang dengan tema komedi.
Beberapa pejabat dari instansi-instansi yang berkaitan dengan ekraf Payakumbuh yang juga hadir malam itu, sepakat memang kolaborasi dengan konten kreator diperlukan untuk menyebarluaskan program-program mereka. Mereka berasal dari Disparpora dan Disnaker Kota Payakumbuh.
Begitu juga dengan para pelaku ekraf yang hadir malam itu. Mereka melihat kolaborasi sebagai hal penting untuk masa depan ekraf di Payukumbuh, termasuk kolaborasi dengan instansi-instansi pemerintah.
***
Seminggu sebelumnya, Selasa (16/7/2024), obrolan di Ngopini juga berkembang ke arah yang sama. Meski Ngoponi #3 Seri Ekonomi Kreatif itu diberi judul “Gaya dan Selera,” diskusi juga mengarah ke kreativitas di dunia digital. Kreativitas digital, tidak cuma diperlukan untuk mempromosikan produk-produk ekraf lokal. Lebih jauh, ia perlu digunakan untuk ‘membendung’ efek negatif masuknya brand-brand FnB raksasa ke Payakumbuh. Pelaku ekraf lokal mesti kreatif dan terus berkolaborasi jika tak ingin pudur di tengah persaingan ekonomi pasar bebas.
Adalah Andre “Miing” Gunawan, teman ngobrol di Ngopini #3 yang membuka cerita soal itu. Dalam pengamatannya, saat ini di Payakumbuh, kopi keliling yang lagi tren di kota-kota di Indonesia, juga dijalankan anak-anak muda Payakumbuh.
“Payakumbuh adalah pasar yang menjanjikan. Jika kita tidak terus tingkatkan kreativitas, ketika brand raksasa dari luar masuk, kita bisa-bisa kehilangan akal, kita harus bangun siasat bersama-sama,” kata anak muda yang kini mengelola Gerobak Kopi—kedai kopi yang ia rintis sejak 2015 lalu.
Tapi ia menggarisbawahi, masuknya brand-brand raksasa ke Payakumbuh, juga punya efek positif. Misalnya dalam soal munculnya konsumen baru karena efek kehadiran brand raksasa yang sudah terkenal. Konsumen-konsumen baru itu, sebagiannya akan menjadi konsumen FnB lokal.
“Saya tidak anti brand-brand raksasa atau nasional untuk masuk ke Payakumbuh, justru ada bagusnya. Walau begitu, kita tetap harus siapkan siasat untuk beradaptasi dengan perkembangan seperti ini,” lanjutnya sembari menyinggung pentingnya kolaborasi dengan konten kreator, serta sesama brand lokal.
Selain Andre, di Ngopini #3 Seri Ekonomi Kreatif itu juga ada Laurencia De Richo dan Suci Pertama Sari. Lauren adalah CEO Rendang Unikayo, sedang Suci adalah Konten Kreator Kuliner.
Keduanya juga sama-sama menekankan pentingnya kreativitas dalam promosikan produk di medsos. Berdasarkan pengalamannya, Lauren berbagi pengalamannya soal bagaimana ia memasarkan produk rendangnya hingga Australia dan New Zealand.
Selain kreativitas menyajikan konten promosi, ia juga menekankan pentingnya kreativitas dalam mengolah dan membangun branding baru untuk produk-produk rendangnya.
“Saya coba bangun branding bahwa semua orang bisa marandang. Makanya saya siapkan produk-produk berbasis rendang yang bisa dimasak siapa saja dan dalam waktu yang singkat. Tentu saja saya juga iringi dengan kualitasnya. Terjamin lah kualitasnya,” katanya.
Suci yang sudah malang melintang dalam dunia perkontenan kuliner, punya pandangan sama soal pentingnya konten-konten promosi produk yang segar dan kreatif.
“Kadang orang itu ‘makan’ kontennya dulu, baru cobain produknya,” paparnya berdasarkan pengalamannya meriset berbagai akun medsos FnB dan datang langsung untuk mencicipi produknya.
***
Modal adalah faktor penting di dunia bisnis dalam ekonomi pasar bebas ini. Sesiapa punya modal besar, bisa dengan mudah mengkooptasi pasar, termasuk Payakumbuh. Dengan sumber daya yang besar, mereka bisa menekan harga dan memasarkan produk-produknya dengan mereplikasi strategi dan bentuk bisnis yang lagi hype.
Di kota-kota lain saat ini, para pedagang kopi keliling (kopling) perlahan mulai tersingkir oleh brand raksasa yang membuat kopi keliling versinya sendiri dengan harga sedikit saja lebih mahal dari harga yang dipatok kopling konvensional. Dan mereka bisa membangun 20-an kopling versinya dengan cepat dan menyebar ke penjuru kota mengkooptasi pasar kopling konvensional.
Bukan tak mungkin hal serupa akan segera sampai ke Payakumbuh. Teman-teman yang sudah capek-capek merintis usaha kopi kelilingnya, bisa kena pukulan keras. Brand-brand raksasa ini juga akan dimudahkan dengan segala infrastruktur digital yang disediakan pemerintah kota. Jika Payakumbuh benar-benar menjadi Smart City, dengan sumber dayanya yang besar mereka dapat pula ‘menungganginya’ dengan gampang.
“Ini yang perlu kita pikirkan bersama, bagaimana kita bersiasat. Bahkan mungkin brand raksasa itu yang kira rangkul, untuk majukan ekraf lokal,” kata Miing beberapa hari setelah Ngopini #3. “Teman-teman yang sudah berhasil bangun brand yang kuat, mungkin tidak terlalu terdampak, tapi bagaimana dengan teman-teman yang baru merintis?
Saya sengaja mengajaknya ngobrol memperdalam wacana yang ia buka tempo hari. Ini penting menurut saya. Sejauh yang saya perhatikan, tidak ada jaminan dari pemerintah untuk memproteksi pelaku ekraf lokal yang bisnisnya belum mapan dari invasi pemodal raksasa. Akan terjadi persaingan dalam relasi yang amat timpang. Jadi memang tak ada pilihan selain berjejaring dan bersama-sama membangun siasat. Semoga Ngopini-ngopini ke depannya lebih fokus pada persoalan-persoalan macam ini. (*)