Alek Mandeh Festival Budaya Matrilineal, Menyigi Lorong Waktu Minangkabau

Salah satu pertunjukan seni tari pada gelaran Alek Mandeh Festival Budaya Matrilineal di Perkampungan Adat Sijunjung, Minggu (12/11/2023). Y.Thendra BP

SIJUNJUNG, HARIANHALUAN.ID – Alek Mandeh Festival Budaya Matrilineal di Perkampungan Adat Sijunjung mencoba kembali menyigi lorong waktu Minangkabau. Berbagai nuansa keminangkabauan dihadirkan di tengah kemajuan yang telah jauh melampaui zamannya.

Bukan perihal kekehnya untuk menjemput kelampauan itu, akan tetapi kehadiran Alek Mandeh hadir untuk menjemput nilai-nilai komunal yang sesungguhnya memiliki arti penting bagi keberlangsungan kebudayaan di Sijunjung.

Alek Mandeh Festival Budaya Matrilineal yang telah dihelat sejak Minggu (12/11/2023) hingga Selasa (14/11/2023), ini juga merupakan transisi langsung dari Festival Matrilineal yang sebelumnya telah digelar beberapa kali. Kegiatan ini berusaha mengambil kembali nilai-nilai itu dengan melekatkannya pada seni budaya yang berlangsung dan pertunjukan-pertunjukan seni yang bersifat tradisional dan kontemporer.

“Berbagai pertunjukan seni, prosesi adat, seminar dan diskusi kebudayaan dihadirkan dalam Alek Mandeh ini. Artinya, pada iven ini kita mempertebal matrilineal itu dengan mencoba menggali kembali ingatan-ingatan masa lalu yang belum tersentuh dan tersebar secara luas,” ujar Kurator Alek Mandeh, Dede Pramayoza.

Iven ini, lanjutnya, didasari pada tiga hal penting dalam konsepnya yaitu penebalan matrilineal dari sudut pandang lelaki pada sistem kekerabatan matrilineal, menjemput ingatan sejarah Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto di Sijunjung, dan Kenduri Swarnabhumi, yang mana ketiganya itu dibalut ke dalam Alek Mandeh Festival Budaya Matrilineal tersebut.

Untuk menguatkan iven secara penyelenggaraan dan capaian, Alek Mandeh Festival Budaya Matrilineal digerakkan secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai pihak dan unsur. Alek Mandeh dinakhodai langsung oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Badan Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumatra Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sijunjung, serta partisipasi masyarakat Perkampungan Adat Sijunjung.

Kemudian Kepala BPK Wilayah III Sumatra Barat, Undri juga menyampaikan bahwa Alek Mandeh ini adalah sebuah upaya untuk mencapai pemajuan kebudayaan yang telah diamanatkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

“Dalam penyelenggaraan ini ada tujuan penting yang harus kita capai, yaitu pengusulannya menjadi warisan budaya dunia. Padahal sebelumnya di tahun 2015 lalu Perkampungan Adat Sijunjung ini telah masuk ke dalam Tentative List UNESCO. Namun pada akhirnya belum tercapai. Inilah yang harus kembali kita capai melalui Alek Mandeh ini,” katanya.

Dan yang berperan penting untuk mencapainya itu terletak di tangan masyarakat Perkampungan Adat Sijunjung itu sendiri. Alek Mandeh sebagai pemantik akan keberlangsungan kebudayaan, selanjutnya nagari dan masyarakatnya yang harus mampu mewujudkan ekosistem kebudayaan itu di tengah kemajuan sekarang ini.

Sehingga kehadiran Alek Mandeh Festival Budaya Matrilineal ini seperti menyigi lorong waktu Minangkabau di masa lalu. Sebuah upaya untuk mengambil kembali nilai-nilai yang perlu diterapkan pada masa kini sebagai penguatan kebudayaan selanjutnya.

Tiga Konsep Besar Menuju Ekosistem Kebudayaan

Alek Mandeh Festival Budaya Matrilineal menggagas tiga konsep besar dalam pelaksanaannya. Pertama tentang mengurai sistem kekerabatan matrilineal, kedua tentang Arang Gelanggang menilik peranan Durian Gadang dan lokomotif uap pada perjalanan warisan dunia Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto, dan yang ketiga tentang Kenduri Swarnabhumi.

Terkait menilik budaya matrilineal, Alek Mandeh yang merupakan transisi Festival Matrilineal itu ingin menebalkan kembali nilai kematrilinealan itu sebagai pondasi dan kekuatan Minangkabau. Pentingnya perempuan sebagai pewaris nilai dan keturunan, matrilineal di Minangkabau telah lebih awal menopangi tiga aspek dasar dalam kelangsungan hidup, yaitu papan (rumah gadang), pangan (sawah ladang) dan sandang (pakaian). Alek Mandeh menginginkan hal itu tercapai dan dapat terus diwarisi kepada kaum perempuannya.

Dan pada konsepnya, Alek Mandeh mencoba menggali lebih matrilineal itu melalui peranan laki-laki dalam sistem matrilineal tersebut. Berbagai kekuatan matrilineal itu dihadirkan ke dalam bentuk prosesi adat khas dari Perkampungan Adat Sijunjung seperti Makan Bajamba, Arak Iriang Bakaua, Tari Tobo Baombai, pertunjukan teater Abu di Atas Tunggul garapan Yusril Katil, dan berbagai kegiatan lainnya.

Kemudian tentang Arang Gelanggang. Arang Gelanggang merupakan prospek langsung dari BPK Wilayah III Sumatra Barat untuk menggali potensi-potensi maupun ketertinggalan ingatan akan warisan dunia Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (TBBOS).

Di Sijunjung sendiri, tersimpan perjalanan sejarah yang agaknya terabaikan yang berkaitan langsung dengan TBBOS tersebut. Sehingga upaya menjemput kembali ingatan itu kemudian juga dihadirkan dalam Alek Mandeh Festival Budaya Matrilineal.

Upaya itu dikemas dalam bentuk Napak Tilas Durian Gadang Lokomotif Uap dan Makam De Greve yang melibatkan berbagai pakar, pihak dan masyarakat Durian Gadang secara langsung.

Terakhir tentang Kenduri Swarnabhumi yang mana pada Alek Mandeh ini berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam hal penguatan hubungan kebudayaan dan pelestarian lingkungan. Konsep ini juga dihadirkan sebagai bentuk penguatan akan keberlangsungan ekosistem kebudayaan dengan tetap mempertahankan tradisi lokal dan upaya-upaya lainnya. (*)

Exit mobile version