PADANG, HARIANHALUAN.ID- Hasil analisis Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar menyimpulkan, akumulasi krisis ekologis di kawasan Aia Dingin telah menyebabkan kerugian pada perekonomian negara, kualitas lingkungan hidup yang terus menurun menjadi beban keuangan negara.
Berdasarkan kajian evaluasi ekonomi yang dilakukan tim WALHI Sumbar terhadap dampak ekologis tambang di Nagari Aia Dingin Kabupaten Solok, terdapat kerugian sekitar Rp 32 miliar.
Metode yang digunakan dalam kajian tersebut adalah GIS (geographic information system) dengan melakukan permodelan sederhana luasan dan arah banjir dan longsor. Hasil permodelan menyatakan, terdapat 23,2 hektar lahan pertanian terdampak. Sementara rumah warga yang rusak, berjumlah 52 unit.
Juru Bicara Koalisi masyarakat Sipil Sumbar, Tomi Adam menyebutkan kerusakan itu telah berdampak terhadap 192 jiwa masyarakat. Analisis kerugian itu belum termasuk jumlah kerugian yang mengharuskan perbaikan jalan nasional dan kerugian lainnya yang harus diderita masyarakat dan negara atas beroperasinya aktivitas tambang di kawasan itu.
“Hasil kerugian yang dihitung pada analisis tersebut, jelas tidak seimbang dari konstribusi sektor usaha tambang kepada masyarakat dan Negara,” ucap Tomi.
Koalisi masyarakat sipil Sumbat mengaku khawatir bahwa kebijakan Pemprov Sumbar dan Pemkab Solok yang telah melakukan pencabutan izin terhadap tiga perusahaan tambang di daerah Aia Dingin, hanya sebatas penghentian sementara saja.
Apabila hal itu terjadi, kebijakan itu dinilai hanya akan menyamarkan penyebab utama bencana ekologis disamping melanggengkan dan menyembunyikan kejahatan lingkungan, terindikasi kompromi perizinan, serta tidak berbasis mitigasi bencana yang terjadi selama ini.
“Situasi itu, juga akan menarik tanggungjawab pelaku investasi yang merusak lingkungan menjadi tanggung jawab rakyat dan negara berupa perbaikan jalan mengunakan dana APBN maupun APBD,” lanjut Tomi.
Atas dasar itu, koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah segera mengambil kebijakan yang menagih secara tegas tanggung jawab pelaku tambang, baik yang illegal ataupun yang tidak lengkap perizinannya.
Menurut pertimbangan koalisi masyarakat sipil Sumbar, UU Minerba, UU Lingkungan Hidup dan UU Kebencanaan, telah cukup dijadikan sebagai dasar untuk meminta pertanggungjawaban pelaku tambang tersebut secara hukum.
“Mestinya ada kebijakan yang menghukum mereka untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup dengan cara menghentikan permanen sumber pencemar dan perusak lingkungan (tambang), remediasi, rehabilitasi dan restorasi lingkungan,” tutup keterangan tertulis pernyataan sikap koalisi masyarakat sipil yang ditandatangani 31 orang masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh adat, tokoh perempuan, akademisi, mahasiswa, pegiat sosial, pegiat HAM, pegiat lingkungan hidup, pegiat pariwisata, pengguna jalan, dan Organisasi Masyarakat Sipil itu. (*)