Walhi : Luasan Tambang Ilegal di Sumbar Capai 10 Ribu Hektare

Walhi mencatat, total luasan lahan tambang ilegal di seluruh wilayah Sumbar diperkirakan mencapai 10 ribu hektare lebih.

Walhi mencatat, total luasan lahan tambang ilegal di seluruh wilayah Sumbar diperkirakan mencapai 10 ribu hektare lebih.

PADANG, HARIANHALUAN.ID— Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, total luasan lahan tambang ilegal di seluruh wilayah Sumbar diperkirakan mencapai 10 ribu hektare lebih.

Data tersebut didapat dari hasil riset Geographic Information System (GIS) dengan memanfaatkan citra satelit Sentinel 2, yang dilakukan pada bulan Oktober 2024 lalu. 

Dari 10 ribu hektaree total luasan tambang ilegal yang terpantau citra satelit, 7.600 hektare di antaranya berada di sepanjang aliran Sungai Batang Hari, Batang Gumanti, Batang Bangko dan Batang Kiah yang melintasi Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Sijunjung, serta Kabupaten Dharmasraya. 

“Sementara sekitar 2.600 hektare lahan tambang ilegal lainnya ditemukan di wilayah Kabupaten Pasaman. Tepatnya di sepanjang aliran wilayah DAS Pasaman dan DAS Batahan,” ujar Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumbar, Tomi Adam kepada Haluan, Jumat (29/11). 

Tomi menekankan, aktivitas tambang ilegal yang terjadi di Sumbar sudah berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Bukaan tambang emas ilegal bahkan telah merangsek ke dalam kawasan hutan maupun areal penggunaan lain (APL) yang dikuasai perusahaan sawit. 

Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan aktivitas tambang ilegal juga telah memicu terjadinya bencana ekologis serta mengakibatkan pencemaran merkuri di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari dan beberapa DAS lainnya. 

“Tingkat kandungan cemaran merkuri di hulu DAS Batang Hari bahkan sudah melampaui baku mutu lingkungan hidup. Artinya, siapapun yang menggunakan air yang berasal dari DAS Batang Hari, sangat beresiko terjangkit penyakit genetik dalam jangka waktu sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan,” ucapnya. 

Menurut Tomi, nilai ekonomis tambang emas ilegal justru tidak sebanding dengan potensi kerugian negara yang ditimbulkannya. Baik itu akibat terjadinya bencana banjir bandang, tanah longsor, pencemaran lingkungan, maupun risiko kesehatan yang menghantui masyarakat dan makhluk hidup yang memanfaatkan air dari sungai yang telah tercemar. 

Oleh karena itu, ia menilai operasi pemberantasan tambang ilegal yang dilancarkan Polda Sumbar usai terbunuhnya Kompol Anumerta Ryanto Ulil Abshar oleh rekannya yang menjabat sebagai Kabag Ops Polres Solok Selatan (Solsel), tidak akan sepenuhnya menjawab persoalan. Tidak selama penegakan hukum belum menyentuh langsung para aktor yang terlibat dalam mata rantai rent seeking kejahatan tambang ilegal di Sumbar. 

Penembakan Kasat Reskrim Polres Solsel oleh rekan kerjanya itu harus menjadi entry point bagi Mabes Polri untuk menyeret semua aparat penegak hukum maupun penguasa yang terlibat sebagai penyandang dana maupun beking kejahatan tambang ilegal. 

“Mabes Polri harus membentuk tim pencari fakta untuk mengungkap aparat yang menjadi beking tambang emas ilegal di Solsel. Termasuk membongkar aliran dana yang mengalir ke oknum kepolisian di Polres Solsel maupun ke Polda Sumbar sekalipun,” tuturnya. 

Tomi menuturkan, keterlibatan oknum aparat penegak hukum sebagai beking atau pelindung aktivitas tambang ilegal sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Sumbar. Bahkan untuk melindungi satu unit eskavator saja, para penambang emas ilegal kabar nya harus menyetor sekian puluh juta kepada oknum kepolisian setiap bulannya. 

Menurutnya, informasi semacam ini seharusnya sudah cukup kuat bagi Mabes Polri untuk membongkar aliran dana tam bang ilegal yang mengalir rutin ke kantong oknum-oknum aparat penegak hukum. 

“Makanya Walhi menilai langkah Polda mendatangi salah satu titik tamban ilegal di Solsel tidak akan menjawab persoalan. Karena itu hanyalah satu dari ratusan titik bukaan tambang ilegal yang ada. Langkah itu tidak akan memberikan efek yang signifikan,” katanya. (*)

Exit mobile version