PADANG, HARIANHALUAN.ID — Komunitas Reptile dan Amphibi Padang atau KRAP merupakan komunitas yang hadir untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terhadap hewan melata. KRAP terus melakukan edukasi tentang bahaya hewan reptile, mulai dari sekolah, perkantoran, dan lingkungan warga.
Pembina KRAP Danuseto Herlambang mengatakan, bahwa komunitas KRAP dilatarbelakangi untuk mengantisipasi dan penanganan jika bertemu reptile atau hewan melata, karena tidak semua dipahami oleh masyarakat. Pasalnya, bagaimana potensi bahaya yang mungkin terjadi hingga seperti apa penanganan yang tepat.
“Awal berdirinya komunitas ini, saya dari pertanian Unand, karena sering ke kebun sering bertemu ular. Memang menyukai hewan yang menurut saya sedikit unik seperti ular. Ide komunitas bersama anak-anak Unand kebanyakan, dan belum banyak orang umum,” katanya kepada Haluan, Jumat (6/12).
Danuseto Herlambang mengatakan, komunitas KRAP berdiri pada 1 Desember 2011, dan saat ini sudah memiliki anggota 17 orang dari berbagai usia. Mulai dari 6 tahun hingga 35 tahun.
“Anggota komunitas kita silih berganti karena ada yang sudah berkeluarga, dan muncul anggota baru. Saya pendiri yang bertahan, dan saat ini ada 17 orang anggota dari semua kalangan,” katanya.
Dikatakannya, anggota yang berusia 6 tahun disebut anggota kecil, karena sudah bisa mengedukasi ke teman sebayanya dan masyarakat. Jika hanya sekedar memegang ular belum bisa dikatakan anggota, namun jika telah memberikan edukasi dan menenangkan orang lain dan seumuran.
Lebih jauh Danuseto mengatakan, pihaknya menyampaikan kepada warga seperti apa sifat-sifat hewan reptile, banyak masyarakat jika bertemu ular langsung dibunuh, pada dasarnya mereka tidak mengganggu, sebaliknya hewan akan menyerang jika diganggu terlebih dahulu. Untuk itu, komunitas ini juga menerima laporan warga yang membutuhkan pertolongan, jika menemui hewan reptile seperti ular dan lainya.
“Jadi, salah satunya giat mitra kita BKSDA Sumbar dan Damkar. Kegiatan yang diliput adalah rescue reptile termasuk buaya. Kita aktif rescue buaya, ular dan hewan reptile lainnya,” katanya.
Danuseto mengatakan, sebagai tempat pusat rehap di Padang di basecamp yang berada di Jalan Anggrek No.19 Flamboyan, Gunung Pangilun. Disini ada ular-ular tangkapan dari Damkar yang sudah dioper ke KRAP untuk ketersediaan atau kesiapan Damkar, baru digandeng BKSDA untuk melepaskan ke alam.
KRAP jam terbangnya sudah keliling ke berbagai daerah dan prestasi lumayan banyak, ada ratusan piala yang sudah didapatkan dari kontes di Sumbar, Riau, Jambi, dan Bengkulu. Edukasi dan sosialisasi mulai dari PAUD sampai ke Universitas.
Baru-baru ini, kata Danuseto, di Kecamatan Padang Selatan karena banyaknya pengaduan masyarakat terkait reptile termasuk buaya. Disana ada tim siaga bencana, dilatih atau diberikan edukasi terkait hewan yang berbisa dan berbahaya, bagaimana penanganan.
“Camat di Padang Selatan telah mengadakan edukasi, daerah lain belum ada. Lalu, di Padang Pariaman sudah ada bersama BPBD, instansi bersama Damkar Semen Padang, hingga Universitas termasuk Baiturrahmah dan Mapala,” katanya.
Danuseto menambahkan, sesuai logo KRAP, ular putih menandakan warna netral, dan logo ular melambangkan anggota KRAP dengan satwa reptilenya (mengedukasi ke masyarakat kalo manusia harus bisa hidup berdampingan dengan satwa/reptile). Pasalnya, tidak semua reptile itu berbahaya ataupun berbisa.
“Nah lingkaran hitam melambangkan pemikiran masyarakat tentang hewan reptile. Baik itu hal mistic maupun prasangka negatif dengan hewan reptile. Disitulah peran kami KRAP harus menetralkan prasangka dan meluruskan mitos-mitos yang banyak di masyarakat tentang hewan reptile. Tujuannya jangan hewan reptile menjadi punah, dan menjaga mereka tetap selalu ada,” ucapnya. (*)