Situasi itu, secara tidak langsung mengharuskan para sopir bus Antar Kabupaten Dalam Provinsi (AKDP) jemput bola ke titik-titik lokasi strategis penumpang potensial. Seperti di depan Universitas Negeri Padang (UNP) hingga sepanjang jalan Hamka.
“Artinya, jika dipaksakan mangkal di dalam Terminal Anak Air, kami tidak akan dapat penumpang. Sementara travel liar yang tak punya izin dan tidak punya asuransi dibiarkan,” ungkapnya.
Terkait lokasi terminal Anak Air yang tidak strategis dan representatif ini, Imral Adenansi menduga hal ini disebabkan kesulitan pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan dalam melakukan proses pembebasan lahan di Sumatera Barat.
Namun disisi lain, perencanaan lokasi yang tidak tepat itu pada akhirnya terbukti membuat terminal Anak Air tidak berfungsi sebagaimana mestinya setelah dibangun.
“Ini menggambarkan pemerintah tidak punya perencanaan yang matang. Disamping memang pembangunannya yang terkesan dipaksakan dan hanya berorientasi proyek saja,” ungkapnya
Di Sumatra Barat maupun Indonesia pada umumnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek pemerintah seringkali dikerjakan secara terburu-buru, kejar target dan asal-asalan.