PADANG, HARIANHALUAN.ID – Meski sudah tiga tahun berjalan, lokasi Terminal Anak Air yang sudah bertipe A sepi, tak berfungsi sebagaimana mestinya. Alasannya, terminal tersebut lokasinya dianggap tak strategis sebagaimana layaknya terminal.
Ketua DPD Organisasi Angkutan Darat (Organda) Provinsi Sumatera Barat periode 2021-2026 Imral Adenansi menyebut, ada beberapa faktor yang menyebabkan pengusaha Perusahaan Otobus (PO) swasta di Kota Padang enggan mangkal dan melakukan aktivitas naik turun penumpang di terminal Tipe A Anak Air.
Beberapa faktor utama diantaranya adalah lokasi terminal Tipe A Anak Air yang kurang strategis dan jauh dari pusat kota, maraknya travel liar, menjamurnya aplikasi transportasi online, hingga keberadaan terminal bayangan di sejumlah titik yang sampai kini tidak mampu ditertibkan oleh pemerintah daerah bersama instansi terkait.
“Jika kita lihat fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Sumbar saja. Tapi juga sudah menjadi persoalan nasional seiring dengan perkembangan zaman,” ujarnya kepada Haluan Kamis (12/12).
Menurut Mantan Anggota DPRD Sumbar ini, sepinya terminal Tipe A Anak Air, tidak terlepas dari kenyataan bahwa masyarakat hari ini, lebih cenderung menyukai segala sesuatu yang bersifat instan dan praktis. Fenomena ini, tergambar dari kecenderungan mayoritas masyarakat yang lebih menyukai transportasi online.
Perubahan perilaku masyarakat ini, diperparah dengan kenyataan bahwa Terminal Anak Air dibangun di lokasi tidak strategis dan jauh dari pusat keramaian sehingga sulit dijangkau calon penumpang.
Situasi itu, secara tidak langsung mengharuskan para sopir bus Antar Kabupaten Dalam Provinsi (AKDP) jemput bola ke titik-titik lokasi strategis penumpang potensial. Seperti di depan Universitas Negeri Padang (UNP) hingga sepanjang jalan Hamka.
“Artinya, jika dipaksakan mangkal di dalam Terminal Anak Air, kami tidak akan dapat penumpang. Sementara travel liar yang tak punya izin dan tidak punya asuransi dibiarkan,” ungkapnya.
Terkait lokasi terminal Anak Air yang tidak strategis dan representatif ini, Imral Adenansi menduga hal ini disebabkan kesulitan pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan dalam melakukan proses pembebasan lahan di Sumatera Barat.
Namun disisi lain, perencanaan lokasi yang tidak tepat itu pada akhirnya terbukti membuat terminal Anak Air tidak berfungsi sebagaimana mestinya setelah dibangun.
“Ini menggambarkan pemerintah tidak punya perencanaan yang matang. Disamping memang pembangunannya yang terkesan dipaksakan dan hanya berorientasi proyek saja,” ungkapnya
Di Sumatra Barat maupun Indonesia pada umumnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek pemerintah seringkali dikerjakan secara terburu-buru, kejar target dan asal-asalan.
“Daripada alokasi anggaran yang tersedia kembali lagi ke kas pemerintah pusat menjadi SILPA, lebih baik dihabiskan. Soal apakah pembangunan itu nantinya bermanfaat, tepat guna atau tidak, itu urusan lain. Ini yang menjadi persoalan,” ungkapnya.
Secara umum, Imral Adenansi menilai pembangunan terminal tipe A Anak Air yang pada akhirnya tidak berfungsi dengan baik , hanyalah satu dari sekian banyak pekerjaan rumah pemerintah pada sektor transportasi darat.
Ia menuturkan, kondisi pelaku usaha angkutan umum resmi di Sumatra Barat saat ini, sudah kian terdesak dengan menjamurnya aplikasi transportasi online dan travel liar. Saat ini pengusaha transportasi darat harus benar-benar berjuang untuk Survive.
“Jumlah ojek maupun taxi online di indonesia saja saat ini sudah hampir 40 juta orang. Sementara di Sumbar saja, saat ini kami para pengusaha AKAP hanya bisa mengharapkan penumpang di High Season saja. Sementara di Low Season, sulit untuk diharapkan,” ucapnya.
Untuk itu, Selaku Ketua DPD Organda Sumbar, ia mendorong pemerintah melahirkan regulasi yang adil bagi seluruh pelaku usaha transportasi darat.
“Meskipun bagi pemerintah hal ini menjadi dilema. Tapi bagaimanapun harus ada regulasi yang tidak merugikan bagi kami pelaku usaha transportasi darat yang taat membayar pajak ini,” pungkasnya. (*)