Gemerlap kehidupan malam di ibu kota Sumatera Barat bukan hanya soal dunia mabuk dan pelacuran. Selepas tengah malam, hitam putih perjuangan hidup mereka tersaji, tapi tidak pernah dianggap penting.
Menjelang tengah malam, ketika hari dan tanggal segera berganti, geliat kehidupan di sebuah bangunan lawas bergaya vintage yang berada di pinggir aliran Sungai Batang Arau, Kota Padang perlahan berganti rupa.
Pukul 23.15 WIB, gemerlap lampu disko warna-warni mulai dinyalakan, riuh gelak tawa dari mulut-mulut muda-mudi mabuk alkohol, terdengar begitu samar bersahut-sahutan dengan dentuman suara musik DJ nan menghentak gendang telinga. “Jangan biarkan sadar. Sadar itu menyakitkan,” ucap seorang wanita muda berambut pirang sembari tertawa menyodorkan sebotol anggur merah.
Aster, begitu wanita berparas cantik ini memperkenalkan diri. Bekerja sebagai gadis pemandu karaoke atau ladies companion (LC), ia menerima bayaran Rp150 ribu hingga Rp300 ribu per jam.
Di bawah sinar temaram lampu disko yang bergonti-ganti warna, Aster terlihat begitu manis memesona. Bibir tipis merah meronanya selalu tersenyum ramah seolah tidak menanggung beban hidup apapun.
Sorot bola matanya yang indah seolah antusias mendengarkan setiap cerita dan pertanyaan iseng tidak penting yang dilontarkan tamu yang dilayaninya. “Memang seperti inilah kerjaan LC. Menemani orang mabuk dan mendengarkan kisah sedih mereka,” ucapnya sembari tertawa.
Aster bercerita, sepanjang pengalamannya menjadi LC selama kurang lebih dua tahun, para tamu yang datang ke tempat hiburan malam rata-rata adalah pria kesepian yang tidak punya tempat nyaman untuk curhat atau bercerita.
Rata-rata curhatan pelanggan yang datang tidak jauh dari kisah putus cinta, perceraian, kehilangan orang yang dicintai atau sebagainya. Aster bersimpati dengan kisah sedih setiap pemabuk yang ia temani minum hingga teler.
Dia merasa nasib mereka hampir sama dengan apa yang telah ia lalui beberapa tahun terakhir. Nasib sial berupa kehilangan orang yang dicintai membuat dirinya terpaksa mengambil alih tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Sekalipun harus mengais rezeki di balik gemerlap dunia malam yang bagi kebanyakan orang adalah lembah hitam penuh kemaksiatan.
“Meski baru berusia 23 tahun, tapi aku ini single parent beranak satu. Menjadi LC ini bukan pilihan atau untuk bersenang-senang. Tapi terpaksa keadaan untuk mencari hidup,” kata Aster.
Pengakuan Aster awalnya terasa mengejutkan. Apalagi mengingat parasnya yang terlihat masih begitu muda layaknya seorang mahasiswi. Namun begitu, wanita belia ini ternyata punya kisah pilu tersembunyi yang selama ini tertutup rapat di balik senyumnya yang begitu ceria.
Aster mengenang, nasib kelam dirinya berawal dari pertemuannya dengan seorang lelaki pada saat dirinya menginjak usia 18 tahun. Lewat hubungan asmara itu, Aster akhirnya hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang kini telah berusia 1,5 tahun.
Kehamilan yang tidak dikehendaki itu membuat keluarga Aster marah besar hingga akhirnya memilih memutuskan hubungan keluarga. Pada bulan-bulan pertama pernikahannya, Aster merasa semuanya masih terkendali dan baik-baik saja kendati pernikahannya tidak direstui.
Namun pada saat usia kandungan Aster memasuki usia tiga bulan, badai petaka mulai datang menghampiri. Sang suami tercinta ditangkap polisi dalam kasus peredaran gelap narkoba jenis sabu. Kini sang suami telah ditahan dan divonis hukuman 7 tahun penjara.
Sejak saat itu, hidupnya mulai berubah drastis, untuk menyambung hidup, Aster akhirnya memilih terjun dunia malam sebagai LC. Ia mulai bekerja dari pukul 9 malam hingga pukul 2 dini hari.
Selama dirinya bekerja sebagai LC, sang buah hati dititipkannya di rumah sang mertua yang kini menjadi satu-satunya keluarga yang ia miliki di Kota Padang.
“Mertua tahu kok pekerjaan saya seperti ini. Tapi ya mereka tidak bisa apa-apa. Sebab mereka pun sudah tua dan tidak bekerja. Dari uang tips yang diberikan pelanggan inilah saya bisa beli susu anak dan membiayai kehidupan mertua,” ucapnya.
Jauh dalam lubuk hatinya, Aster mengaku merasa berdosa dan tidak nyaman menjalani pekerjaan sebagai LC. Batinnya selalu memberontak. Apalagi jika ada pelanggan nakal yang terang-terangan mengajak dirinya berhubungan seks.
“Kalau ada yang ngajak seperti itu, saya merasa sangat terhina dan tersinggung. Meskipun saya butuh uang, tapi saya ini hanya LC. Bukan jual diri. Saya masih ingat dosa dan takut terjangkit HIV,” ucapnya kesal dengan nada agak tinggi.
Menjalani kerasnya kehidupan sebagai LC di Kota Padang, Aster bukannya tidak pernah mencoba mencari nafkah dengan cara yang lebih halal. Bermodalkan ijazah SMP, dirinya telah berulang kali mencoba melamar pekerjaan. Entah itu sebagai penjaga toko, waitress. cleaning service, atau pekerjaan kasar lainnya.
Namun begitu, lapangan kerja yang dirasakannya sangat sempit di Kota Padang membuat dirinya tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalani kehidupan malam yang keras sebagai LC di beberapa kafe, tempat karaoke, dan tempat hiburan malam.
“Untuk berhenti atau buka usaha lain, saya rasa sekarang belum saatnya. Apalagi, saat ini anak saya masih sedang kuat-kuatnya minum susu formula. Sementara ASI saya tidak mungkin saya berikan, karena saya minum alkohol. Saya yakin tuhan maha tahu apa yang membuat saya hingga sampai seperti ini,” tuturnya.
Aster mungkin hanyalah satu dari ratusan atau bahkan ribuan “kupu-kupu malam” yang mencari nafkah di balik gemerlapnya dunia malam Kota Padang. Aster juga menjadi korban pernikahan dini yang membuat wanita usia produktif rentan jatuh ke lubang kemiskinan, kebodohan, dan rawan terlibat dalam berbagai bentuk penyimpangan sosial.
Berdasarkan riset terbaru Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Sumbar, tren pernikahan dini cenderung mengalami peningkatan di Sumbar dan beberapa daerah lainnya pascapandemi Covid-19.
Data BPS Sumbar yang dirilis pada tahun 2023 lalu menyatakan, angka pernikahan dini usia kurang dari 19 tahun di Sumbar menurun signifikan selama 10 tahun terakhir. Hasil sensus itu menyatakan, angka penurunan bergerak dari 28 per 1.000 remaja menjadi 14 perkawinan per 1.000 remaja.
“Namun dari hasil riset, masih banyak kasus-kasus pernikahan yang tidak sesuai dengan UU Nomor 16 Tahun 2019. Banyak kasus pernikahan sisi dan ada juga pernikahan yang dicatatkan tapi melalui mekanisme mengubah data diri sehingga sesuai dengan persyaratan yang diminta,” kata Koordinator Penelitian LP2M Sumbar, Tanti Herida dalam sebuah diseminasi riset Feminist Participatory Action Research (FPAR) pada April 2024 lalu. (*)