JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Barat (Sumbar) beserta tokoh adat Nagari Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman serta Eksekutif Nasional (Eknas) Walhi melaporkan aktivitas penambangan ilegal, yang diduga dibekingi oleh oknum kepolisian, kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI.
Laporan ini berkaitan dengan munculnya sejumlah nama oknum polisi yang diduga terlibat dalam aktivitas beking-menbeking tambang ilegal di Kabupaten Solok Selatan (Solsel). Nama-nama mereka terungkap dalam sangkaan sidang etik AKP Dadang yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penembakan Kompol Anumerta Ryanto Ulil Abshar.
Pelaporan ini sekaligus merupakan bentuk keresahan masyarakat Adat Nagari Lubuk Alung dan Balah Hilia, Kabupaten Padang Pariaman atas maraknya aktivitas pertambangan sirtu ilegal yang masif dan sistematis dengan menggunakan alat berat. Aktivitas tambang galian C di daerah itu disinyalir terus beroperasi karena dibeking oknum aparat.
Kedatangan rombongan Walhi Sumbar dan masyarakat adat Nagari Lubuk Alung, diterima langsung anggota Kompolnas, Irjen Pol (Purn) Arief Wicaksono Sudiutomo dan Dr. Yusuf. Gufron di Kantor Kompolnas, Rabu (18/12) kemarin.
“Walhi menyampaikan beberapa temuan terkait kasus pembekingan tambang ilegal oleh oknum kepolisian dari kasus polisi tembak polisi di Solsel dan juga maraknya aktivitas tambang ilegal, utamanya galian C dan emas yang terjadi sangat masif di Sumbar,” ujar Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumbar, Tomi Adam keterangan tertulis yang diterima Haluan, Kamis (19/12).
Walhi Sumbar mencatat, aktivitas tambang ilegal yang terjadi di berbagai daerah di Sumbar tidak hanya menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, namun juga telah menimbulkan banyak sekali korban jiwa.
Selama periode 2012 -2024, Walhi mencatat ada sebanyak 40 orang penambang yang meninggal akibat kecelakaan yang terjadi di lubang-lubang tambang ilegal. Aktivitas tambang ilegal yang juga telah berlangsung dengan begitu masif telah menimbulkan kerugian pada perekonomian negara.
“Tambang ilegal telah menjadi penyebab utama pemicu bencana ekologis berupa banjir dan longsor di Sumbar. Selain itu, kejahatan PETI telah meruntuhkan wibawa negara di hadapan sindikat pelaku kejahatan lingkungan. Peristiwa polisi tembak polisi di Mapolres Solsel menjadi bukti yang tak terbantahkan,” tuturnya.
Tomi Adam mengungkapkan, bahwa total luasan areal pertambangan ilegal yang terdata dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RTRW Sumatera Barat (2023-2043) bahkan telah mencapai angka 7.662 hektare.
Luasan tambang tersebut tersebar di empat Kabupaten yang menjadi hulu dari DAS Batang Hari, yaitu di Kabupaten Dharmasraya seluas 2.179 hektare, Kabupaten Solok 1.330 hektare, Kabupaten Solsel 2.939 hektare, dan Kabupaten Sijunjung 1.174 hektare.
Luasan yang masif ini juga berkontribusi terhadap dampak kesehatan yang ditimbulkan dari penggunaan merkuri sebagai zat pemisah emas. Dari hasil kajian oleh Runi Sahara dan Dwi Puryanti dari Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Andalas (Unand) didapati bahwa air Sungai Batang Hari di aliran Batu Bakauik tidak layak konsumsi.
“Dari pengujian atomic absorption spectrometry (AAS), kandungan logam berat merkuri (Hg) maksimum 5,198 mg/L, jauh melampaui baku mutu 0,001 mg/l (berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum),” ucapnya.
Selain menimbulkan kerusakan ekologis dan mencemari aliran sungai dengan zat merkuri, tambang ilegal juga bertanggung jawab atas terjadinya kelangkaan atau penyelewengan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, lantaran dilakukan dengan menggunakan puluhan hingga ratusan alat berat jenis ekskavator yang membutuhkan bergalon-galon BBM untuk mendukung operasionalnya.
“Dalam analisis dan observasi lapangan, satu alat berat ekskavator bekerja rata-selama 20 jam di lapangan. Satu unit alat berat membutuhkan BBM sebanyak 450 liter dalam satu kali operasional atau sebanyak 15 jerigen isi 30 liter. Proses pengisian BBM biasanya dilakukan dua kali. Dengan kata lain, dalam satu hari, satu unit alat berat membutuhkan 900 liter BBM,” ujar Tomi.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun Walhi Sumbar, jumlah alat berat yang digunakan untuk melancarkan aksi tambang ilegal di Solsel diperkirakan berjumlah 100 unit alat berat. Artinya, BBM yang dipasok per hari dalam satu kabupaten mencapai 90 ribu liter.
“Terkait dalam hubungannya dengan kepolisian, keterangan yang terungkap pada persidangan etik AKP Dadang Iskandar pada 26 November 2024 lalu diketahui bahwa Kapolres Solsel menerima aliran dana dari aktivitas tambang ilegal di Solsel sebesar Rp600 juta sejak menjabat,” katanya.
Berdasarkan keterangan itu, setidaknya Kapolres Solsel diperkirakan telah menerima aliran dana sebesar Rp16,2 miliar selama 27 bulan menjabat. “Sumber dana tersebut berasal dari setoran penggunaan 20 unit alat berat. Di mana untuk melindungi satu alat berat, setoran yang diminta adalah sebesar Rp25 juta. Jumlah itu belum termasuk setoran tambang yang tidak menggunakan alat berat,” tuturnya.
Berdasarkan situasi itu, Walhi Sumbar mendesak Kompolnas RI untuk melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap pejabat Polri di Sumbar. Baik terhadap kapolda maupun para kapolres jajaran.
Pemeriksaan menyeluruh diperlukan dalam rangka pengumpulan dan analisis data yang komprehensif atas dugaan keterlibatan pejabat Polri di Sumbar sebagai beking atau aktor intelektual tambang ilegal.
Walhi juga merekomendasikan Presiden RI untuk memerintahkan Kapolri agar segera membenahi tubuh Polri di wilayah hukum Sumbar secara komprehensif dan terukur. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus membentuk tim khusus untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk memeriksa seluruh pejabat Polri di Sumbar.
“Kapolri juga harus menon-aktifkan seluruh pejabat utama Polri di Sumbar dan menggantinya dengan pejabat baru. Terutama di kabupaten/kota yang ada aktivitas tambang ilegal,” katanya.
Walhi juga meminta Presiden RI untuk segera membentuk tim khusus yang akan bertugas memeriksa keterlibatan pejabat Polri yang mempunyai relasi dengan pejabat eksekutif/legislatif, pengusaha SPBU, serta pelaksana proyek infrastruktur yang terlibat melakukan aktivitas tambang ilegal.
Terpisah, Kabid Humas Polda Sumbar, Kombes Pol Dwi Sulistyawan menyatakan, sampai saat ini pihaknya masih mendalami dugaan keterlibatan oknum polisi yang bertindak sebagai beking tambang ilegal di Sumbar. “Ya, itu masih sedang kami dalami,” ujarnya. (*)