PASAMAN, HARIANHALUAN.ID — Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman menjatuhi vonis hukuman mati kepada otak sindikat narkoba kelas kakap, Nanda Dwi Yandra Saputra. Vonis ini dinilai sangat tepat mengingat kondisi Sumatera Barat (Sumbar) yang kini tengah dalam kondisi darurat narkoba.
Ahli Hukum Pidana Universitas Andalas (Unand), Edita Elda menilai, vonis hukuman mati yang dijatuhkan Majelis Hakim PN Lubuk Sikaping tersebut juga sudah selayaknya dijatuhkan. Apalagi, berdasarkan penelitian terbaru, 80 sampai 90 persen lembaga pemasyarakatan (lapas) yang ada di Indonesia saat ini sudah penuh terisi dengan tahanan kasus narkotika.
“Untuk itu, saya menilai vonis yang dijatuhkan hakim di PN Lubuk Sikaping sudah sangat tepat, mengingat jumlah barang bukti dan peran pelaku sebagai intelektual dader atau otak pelaku,” ujarnya kepada Haluan, Selasa (7/1).
Edita menjelaskan, undang-undang tindak pidana narkotika yang berlaku sebenarnya telah memberikan batasan yang jelas terhadap kategorisasi pelaku penyalahgunaan narkoba. Kategorisasi didasarkan pada jumlah barang bukti yang ditemukan aparat pada saat penangkapan dan penggeledahan.
Jika pelaku terbukti menguasai atau memiliki barang bukti narkotika di bawah berat 0,05 gram, maka akan dikategorikan sebagai pengguna narkoba yang tidak pantas dipenjara, serta wajib menjalani proses rehabilitasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan harapan pelaku masih bisa disembuhkan.
Sementara, jika jumlah barang bukti yang ditemukan oleh petugas saat penangkapan atau dilakukan penggeledahan lebih dari 0,05 gram, maka pelaku sudah dikategorikan sebagai pengedar narkoba yang dapat dijatuhi hukuman penjara sesuai dengan vonis hakim.
“Nah, untuk pengedar dengan batasan barang bukti yang cukup besar mencapai ratusan gram, hukuman maksimalnya memang adalah pidana mati. Saya dalam posisi setuju adanya pidana mati bagi pengedar narkoba,” ujarnya.
Dalam banyak kasus, pengedar narkoba adalah orang yang paling bertanggung jawab atas munculnya fenomena kemiskinan akibat kecanduan narkoba, perdagangan orang, maupun eksploitasi anak-anak sebagai kurir narkoba. “Untuk itu, saya menilai vonis hukuman mati oleh hakim sudah sangat pantas untuk memberikan efek jera bagi calon-calon pelaku lainnya,” kata Edita.
Pada kesempatan yang sama, Edita juga menyoroti banyaknya kasus peredaran narkoba di Sumbar, yang mirisnya kerap kali dikendalikan dari balik jeruji penjara oleh para narapidana. Fenomena ini, menurutnya, mengindikasikan lemahnya kontrol terhadap jalur komunikasi warga binaan serta masih maraknya aksi pungli dan korupsi yang terjadi dalam penegakan hukum, khususnya di lingkungan lapas.
“Ini sangat disayangkan terjadi. Lapas yang menjadi lokasi pelaksanaan pidana pun sudah kini terkontaminasi dengan perilaku korup yang membuat narapidana bebas menggunakan ponsel di dalam lapas,” katanya.
Ia menegaskan, untuk memutus mata rantai peredaran narkoba, lapas harus dipastikan steril dari alat komunikasi yang bisa dijadikan sebagai alat pengedali peredaran narkoba. Jika hal ini tidak dilakukan, lingkaran setan peredaran narkoba selamanya tidak akan bisa diputus.
“Makanya kadang ketika seorang pengguna dimasukkan ke dalam lapas, kepandaiannya akan bertambah dan semakin parah. Ini harus menjadi bahan evaluasi bagi aparat penegak hukum untuk memberantas peredaran narkoba,” ujarnya.
Diberitakan, PN Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman menjatuhi vonis hukuman mati kepada gembong narkoba, Nanda Dwi Yandra Saputra, yang terbukti secara sah bersalah melakukan Tindak Pidana Narkotika sebagaimana diatur dalam pasal 114 ayat (2) Jo pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Majelis hakim juga memvonis tiga terdakwa lainnya dalam perkara tersebut, masing-masing Ridho Afrinaldy dan Romadi dengan penjara seumur hidup, serta M. Alfikar dengan penjara selama 20 tahun.
Kepala Kejari Pasaman, Sobeng Suradal melalui Kasi Intel, Erik mengatakan putusan sidang tersebut disampaikan majelis hakim di ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping sekitar pukul 09.30 WIB, Senin (6/1).
Erik menjelaskan, sebelumnya pada tanggal 29 April 2024 lalu, BNN Sumbar telah melakukan penangkapan terhadap tersangka M. Alfikar di Jl. By Pass Pasar Benteng, Nagari Tanjung Beringin, Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman.
“Setelah dilakukan penggeledahan terhadap mobil yang dikendarai oleh terdakwa M. Alfikar, yaitu kendaraan Mini Bus Daihatsu Xenia Warna hitam BA 1482 ND dan ditemukan narkotika jenis ganja sebanyak 4 karung besar, dengan jumlah narkotika sebanyak 141 paket. Dengan total berat bersih 141,700 kilogram,” tutur Erik.
Berdasarkan hasil interogasi terhadap tersangka diketahui bahwa narkotika jenis ganja tersebut kepunyaan terdakwa Ridho Afrinaldy yang merupakan warga binaan Lapas Kelas IA Padang.
Kemudian BNN Sumbar menjemput tersangka Ridho dan dibawa ke Kantor BNN Sumbar untuk dilakukan Proses hukum lebih lanjut. Setelah dikembangkan oleh penyidik, dilakukan penangkapan kembali terhadap 2 orang tersangka lainnya, yakni Nanda Dwi Yandra Saputra dan Romadi. Sehingga dalam perkara ini terdapat 4 orang terdakwa dengan peran yang berbeda beda.
“Setelah melalui proses sidang dan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan para terdakwa di PN Lubuk Sikaping, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Pasaman meyakini bahwa para terdakwa terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam pasal 114 ayat (2) Jo pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan menuntut ke empat orang terdakwa tersebut dengan tuntutan hukuman pidana mati,” kata Erik.
Terhadap tuntutan yang dibacakan oleh JPU Kejari Pasaman, setelah mendengarkan pembelaan dan mempelajari riwayat perkara majelis hakim pada PN Lubuk Sikaping memutuskan salah satu di antara empat terdakwa tersebut dengan hukuman pidana mati, yaitu Nanda Dwi Yandra Saputra.
Terhadap putusan tersebut para terdakwa menyatakan sikap pikir-pikir sebagaimana Pedoman Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, apabila terdakwa mengajukan banding maka JPU berkewajiban untuk banding dalam hal mempertahankan tuntutannya.
“Para terdakwa sementara menjalani penahanan di Rumah Tahanan Negara Kelas II B Lubuk Sikaping,” tuturnya.
Peredaran Narkoba Mengkhawatirkan
Sebelumnya, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumbar, menyatakan tingkat peredaran narkoba di Ranah Minang semakin mengkhawatirkan. Sumbar kini tidak hanya dipandang sebagai pangsa pasar yang seksi bagi para pengedar, namun juga telah menjadi salah satu daerah pemasok narkoba bagi daerah lainnya.
Demikian dikatakan Kepala BNNP Sumbar, Brigjen Pol Ricky Yanuarfi saat memimpin Press Release akhir tahun BNNP Sumbar, Selasa (24/12) silam. “Untuk itu BNNP Sumbar berkomitmen untuk terus melakukan operasi selama 24 jam sehari 7 hari seminggu. Sepanjang bulan, dan sepanjang tahun tanpa terputus,” katanya.
Jenderal bintang satu ini mengungkapkan, sepanjang tahun 2024, BNNP Sumbar telah berhasil mengungkap 9 kasus tindak pidana narkotika yang melibatkan empat jaringan sindikat pengedar. Dari jumlah itu, 22 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Sementara jumlah tersangka yang masuk Daftar Pencarian Orang atau DPO BNN tahun 2024 sebanyak 3 orang. Satu di antaranya telah berhasil diamankan. Sementara dua orang DPO lainnya masih dalam proses pencarian dan pengejaran,” ucapnya.
Brigjen Pol Ricky Yanuarfi membeberkan, sepanjang tahun 2024, BNNP Sumbar telah berhasil menggagalkan peredaran 1.279,46 gram sabu-sabu serta 766,207 gram ganja yang hendak diedarkan jaringan sindikat pengedar narkoba yang telah membangun jejaring tentakel bisnisnya mulai dari kota hingga ke desa.
Dikatakannya, jaringan sindikat pengedar narkoba ini, bekerja siang malam tanpa mengenal batas identitas suku, agama, bahasa, strata sosial atau sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa narkoba adalah musuh terbesar yang dapat memangsa siapa saja. “Ada tiga kasus kejahatan narkoba menonjol yang berhasil diungkap BNNP Sumbar sepanjang tahun 2024 ini. Kasus-kasus ini berhasil kami ungkap di beberapa wilayah pada bulan Februari, April dan Oktober,” ucapnya. (*)