Pada pendidikan keluarga, Dewi menerangkan, hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Mulai dari bahasa daerah yang dianggap tertinggal atau tidak kekinian, karena tinggal di daerah perkotaan, dan juga perkawinan oleh pasangan berbeda suku bangsa. Sehingga, Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu menjadi jalan dalam mendidik anak berbahasa saat ini.
“Dari temuan kami, ini lebih banyak terjadi di kalangan keluarga muda. Ini yang kemudian akhirnya membuat keluarga saat ini lebih dominan mengajarkan Bahasa Indonesia dari kecil ketimbang bahasa ibu atau bahasa daerah. Kalau karena tinggal di daerah perkotaan atau perkawinan dari dua budaya yang berbeda, mungkin wajar-wajar saja. Tapi kalau menganggap bahasa daerah atau bahasa ibu ini tertinggal, ini mungkin alasan yang klise saja dalam pendidikan keluarga,” ujarnya.
Dewi mengatakan, terkait alasan bahasa daerah yang dianggap tertinggal dengan alibi Bahasa Indonesia membuat anak pintar, bijak, dan percaya diri, tentu alasan ini dapat dikatakan keliru. Hal ini bisa dikatakan karena mindset yang dibangun oleh orang tua kepada anaknya.
Tidak hanya karena didominasi keluarga muda, tapi juga adanya dorongan dari keluarga lain untuk menganjurkan anak berbahasa Indonesia sejak kecil. Keluarga muda yang mengalami kemunduran bahasa ini juga disebabkan karena perkembangan teknologi yang meluaskan bahasa, sehingga di kalangan mereka tumbuh bahasa-bahasa baru, seperti toxic, healing, playing victim, dan bahasa lainnya dalam pergaulan mereka sehari-hari. Sehingga dorongan untuk berbahasa lebih baik seperti Bahasa Indonesia terbangun di kalangan keluarga muda untuk mengajarkan anaknya berbahasa Indonesia sejak kecil.
“Justru, bahasa ibu itu adalah bahasa yang dekat dengan anak. Bahasa ibu tentu memiliki aspek emosional antara ibu dan anak. Sedangkan Bahasa Indonesia adalah bahasa penyatu komunikasi karena daerah dan negara kita beragam budaya dan bahasa,” kata Fitria Dewi. (*)