Dianggap Tak Kekinian, Bahasa Daerah Kian Terpinggirkan

Koordinator KKLP Pemodernan dan Pelestarian Bahasa dan Sastra Balai Bahasa Sumbar, Fitria Dewi

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Sejak dahulu —oleh sebagian besar orang— persoalan bahasa tidaklah sepenting persoalan kemiskinan, kesehatan, pembangunan, ekonomi, dan yang lainnya. Bahasa, khususnya bahasa daerah, hanya dianggap sebagai alat komunikasi yang tertinggal. Sederhananya, bagi mereka, mengabaikan bahasa daerah itu tidaklah akan memberikan dampak buruk apa pun.

Namun, bahasa daerah atau yang juga biasa disebut “bahasa ibu” ini sesungguhnya dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. UNESCO mencatat, per minggu, setidaknya dua bahasa daerah di dunia yang dinyatakan punah. Terlebih di Indonesia yang menjadi pemilik bahasa daerah terbanyak di dunia setelah Papua Nugini. Tentu ini menjadi kekhawatiran tersendiri.

Pada tahun 2019, sebanyak 11 bahasa daerah telah dinyatakan punah. Lalu pada tahun 2021 sebanyak 24 bahasa daerah mengalami kemunduran dalam jumlah penuturnya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bahasa daerah terus mengalami penurunan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, generasi pre-boomer dianggap sebagai pengguna bahasa daerah terbanyak.

Fenomena ini juga terjadi di Sumatera Barat (Sumbar) yang memiliki dua bahasa daerah, yakni Bahasa Minang dan Bahasa Mentawai. Di Sumbar sendiri, penggunaan bahasa daerah juga mengalami penyusutan pengguna. Kerawanan itu terjadi lebih-lebih di daerah perkotaan yang memaksakan keadaan untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama.

Kepala Balai Bahasa Sumbar, Eva Krisna melalui Koordinator KKLP Pemodernan dan Pelestarian Bahasa dan Sastra, Fitria Dewi mengatakan, pendidikan keluarga dan kemajuan teknologi menjadi dua hal mendasar yang menyebabkan jumlah penutur bahasa daerah berkurang. Apabila diakibatkan bergantinya generasi, itu bukanlah penyebab utama. Justru bila ditilik lagi, muaranya tetap pada pendidikan keluarga.

“Selain itu, kemajuan teknologi juga menyebabkan komunikasi itu menjadi universal. Karena universal, tentu perbendaharaan bahasa daerah mulai hilang. Inilah yang pada akhirnya mengalami kemunduran dari generasi ke generasi,” ujarnya kepada Haluan, Jumat (10/1).

Pada pendidikan keluarga, Dewi menerangkan, hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Mulai dari bahasa daerah yang dianggap tertinggal atau tidak kekinian, karena tinggal di daerah perkotaan, dan juga perkawinan oleh pasangan berbeda suku bangsa. Sehingga, Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu menjadi jalan dalam mendidik anak berbahasa saat ini.

“Dari temuan kami, ini lebih banyak terjadi di kalangan keluarga muda. Ini yang kemudian akhirnya membuat keluarga saat ini lebih dominan mengajarkan Bahasa Indonesia dari kecil ketimbang bahasa ibu atau bahasa daerah. Kalau karena tinggal di daerah perkotaan atau perkawinan dari dua budaya yang berbeda, mungkin wajar-wajar saja. Tapi kalau menganggap bahasa daerah atau bahasa ibu ini tertinggal, ini mungkin alasan yang klise saja dalam pendidikan keluarga,” ujarnya.

Dewi mengatakan, terkait alasan bahasa daerah yang dianggap tertinggal dengan alibi Bahasa Indonesia membuat anak pintar, bijak, dan percaya diri, tentu alasan ini dapat dikatakan keliru. Hal ini bisa dikatakan karena mindset yang dibangun oleh orang tua kepada anaknya.

Tidak hanya karena didominasi keluarga muda, tapi juga adanya dorongan dari keluarga lain untuk menganjurkan anak berbahasa Indonesia sejak kecil. Keluarga muda yang mengalami kemunduran bahasa ini juga disebabkan karena perkembangan teknologi yang meluaskan bahasa, sehingga di kalangan mereka tumbuh bahasa-bahasa baru, seperti toxic, healing, playing victim, dan bahasa lainnya dalam pergaulan mereka sehari-hari. Sehingga dorongan untuk berbahasa lebih baik seperti Bahasa Indonesia terbangun di kalangan keluarga muda untuk mengajarkan anaknya berbahasa Indonesia sejak kecil.

“Justru, bahasa ibu itu adalah bahasa yang dekat dengan anak. Bahasa ibu tentu memiliki aspek emosional antara ibu dan anak. Sedangkan Bahasa Indonesia adalah bahasa penyatu komunikasi karena daerah dan negara kita beragam budaya dan bahasa,” kata Fitria Dewi. (*)

Exit mobile version