PADANG, HARIANHALUAN.ID — Mantan Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumbar, yang kini baru menjabat sebagai Direktur Promosi Kebudayaan Kementerian Kebudayaan (Kemenbud), Undri, mengatakan, dalam halnya penyebab kemajuan teknologi, tentu beberapa aspek termasuk bahasa akan menjadi hilang dengan sendirinya.
“Beberapa aspek tentu akan hilang. Misalnya dalam suatu aktivitas budaya atau tradisi di mana penamaan-penamaan yang khas akan hilang. Contoh magic jar itu, dalam aktivitas budaya tentu lambat laun akan hilang yang namanya tungku, sanduak, aia mandidiah, dan beberapa kosa kata lain dalam menanak nasi dulu,” katanya.
Sehingga, kemajuan dan teknologi pada suatu perkembangan juga tidak bisa disalahkan. Keberadaan teknologi pun di sisi lain juga akan membantu, termasuk dalam upaya pengenalan bahasa daerah yang kondisinya kini cukup mengkhawatirkan. Dan dalam kerja kebudayaan, ini tentunya juga harus menjadi perhatian akan penggunaan bahasa daerah yang ditinggalkan.
Begitu juga dalam kajian kebudayaan, Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto alias Mak Katik, mengungkapkan bahwa bahasa adalah akar dari lahirnya sebuah kebudayaan. Bahasa merupakan unsur pertama dari terciptanya sebuah kebudayaan yang kemudian baru diikuti oleh unsur-unsur lainnya.
“Begitu juga dengan kita di Minangkabau ini. Dengan bahasa, semua dapat diatur. Semua isyarat dalam kebudayaan di Minangkabau ada dalam bahasa. Artinya, kalau bahasa kita lengahkan begitu saja, sama saja kita meninggalkan inti kebudayaan itu sendiri,” katanya.
Mak Katik juga meyakini, maraknya penyimpangan sosial di kalangan generasi muda saat ini, seperti tawuran, kenakalan remaja, dan yang lainnya, bisa dikatakan penyebabnya juga karena bahasa. Secara jelas dimaksudkan, bahasa daerah atau bahasa ibu memiliki keterhubungan emosional. Dalam hal mendidik bahasa daerah lebih cenderung dianggap bahasa yang kasar oleh anak, karena pada awalnya sudah terbangun sugesti bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang baik dan lemah lembut.
“Bahasa Indonesia yang diajarkan dari kecil, ibarat emosionalnya tidak terbangun. Lihatlah, justru anak-anak dalam tumbuh kembangnya merasa manja dan bebas. Anak merasa tidak terikat ajaran moral, karena dari kecil mereka tidak mendapatkan emosional atau pengertian seperti itu. Bahasa Indonesia itu bagaimanapun kita akan mengerti, karena itu bahasa nasional,” ujarnya. (*)