Menyoal Bahasa Ibu dalam Pendidikan Keluarga

Ilustrasi Sumatera Barat - Tempat wisata Istano Basa Pagaruyung di Tanah Datar. IST

PADANG, HARIANHALUAN.ID – Persoalan Bahasa Ibu/bahasa daerah sesungguhnya terletak pada pendidikan keluarga sebagai pendidikan utama seorang anak. Apalagi dalam berbahasa, anak lebih dulu akan mengenal Bahasa Ibu-nya. Namun masalahnya terletak saat ini di mana terbangun mindset oleh orang tua yang menganggap bahasa daerah sebagai bahasa yang tertinggal, terlebih di kalangan keluarga muda.

Justru, kebanyakan keluarga saat ini menganggap Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang baik, pintar dan membangun percaya diri anak di usia tumbuh kembangnya. Sedari kecil, makanya sering ditemukan orang tua, khususnya keluarga muda, lebih cenderung mengajarkan Bahasa Indonesia terlebih dahulu daripada Bahasa Ibu-nya sendiri.

Potret yang terjadi belakangan di Sumbar ini, tidak hanya dari daerah-daerah perkotaan atau daerah maju saja, akan tetapi juga mulai muncul dari daerah perkampungan di wilayah kabupaten sekalipun, di mana orang tua kini lebih percaya diri mendidik anaknya dengan Bahasa Indonesia di tengah gempuran bahasa daerah di perkampungan-perkampungan.

Rika (33), seorang ibu rumah tangga asal Kabupaten Sijunjung, menyebutkan kalau dirinya mengajarkan langsung Bahasa Indonesia kepada anaknya. Alasannya, Bahasa Indonesia dianggap bahasa yang sopan ketimbang bahasa daerahnya yang dialeknya dianggap kasar.

“Kami ingin saja mengajarkan anak Bahasa Indonesia sejak kecil. Bahasa Indonesia itu logatnya halus dan juga memang mengikuti keluarga-keluarga lain yang sudah mengajarkan anak berbahasa Indonesia sejak kecil,” katanya.

Ibu rumah tangga yang memiliki satu orang anak itu menilai, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang lemah lembut. Selain itu, pandainya anak berbicara, apalagi dengan Bahasa Indonesia, sang anak akan terlihat seperti anak yang bijak dan pintar.

“Senang saja lihat anak-anak kecil bisa Bahasa Indonesia, jadi lucu, pintar dan bijak saja. Meski saya dengan teman-teman masih berbahasa daerah, tapi ingin saja saya mengajarkan anak dengan Bahasa Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, menurut Rika sendiri, apabila anak lebih awal telah dikenalkan dengan Bahasa Indonesia dan sudah fasih, tentu setelahnya tumbuh dewasa, anak selanjutnya bisa diarahkan dan diajarkan dengan bahasa internasional.

“Dulu saya, kalau seusia remaja Bahasa Indonesia itu susah menyebutnya dan terpatah-patah karena tidak lancarnya. Bahkan terlihat lucu saja. Makanya, saya ingin anak saya lancar Bahasa Indonesia-nya, lalu selanjutnya bisa waktu panjang pula untuk bisa bahasa internasional. Karena saya melihat diri saya juga dulunya, dan ingin masa depan anak yang baik saja,” katanya.

Begitu juga Nina (34), seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Lambung Bukit, Kecamatan Pauh, Padang. Ibu yang memiliki dua orang anak ini beralasan kalau di pendidikan formal, rerata anak-anak sudah fasih berbahasa Indonesia.

“Guru-guru kan sering mengajar dengan Bahasa Indonesia. Apalagi di perkotaan ini, anak-anak mungkin lebih akrab dengan Bahasa Indonesia. Makanya saya juga mengajarkan anak sejak kecil dengan Bahasa Indonesia juga,” ujarnya.

Alasan lainnya, sebut Nina, kecakapan anak berbahasa Indonesia terlihat adanya peningkatan kepercayaan diri terhadap sang anak. Sebab, sebagian besar anak lain juga sudah akrab dengan Bahasa Indonesia di lingkungan sekolahnya. Sehingga Bahasa Indonesia menjadi alasan untuk mendidik anaknya agar di lingkungan luar sang anak bisa memiliki teman dan tidak kesepian karena kendala bahasa.

“Itu (Bahasa Indonesia) hanya ke anak saja. Saya masih berbahasa Minang sesama karib dan teman kerja. Saya juga perantau, jadi kadang tidak seutuhnya juga saya mengajarkan anak Bahasa Indonesia. Apalagi ketika sedang marah, keluar Bahasa Minang saya saat memarahi anak. Jadi kalau baik-baik saya Bahasa Indonesia, kalau sedang marah pakai Bahasa Minang. Soalnya kalau marah agak sulit Bahasa Indonesia-nya,” katanya.

Begitu juga yang dikatakan Tari (29). Ia juga mengatakan memang sudah mengajarkan lebih dulu anaknya berbahasa Indonesia. Tapi memang tidak sepenuhnya, karena di sisi lain, Tari juga mendukung Bahasa Minang sebagai didikan anaknya.

“Ya kalau saya Bahasa Indonesia. Kalau ada Ibu saya ke sini, kadang bermain dengan Bahasa Minang juga. Anak saya juga mengerti. Saya juga tidak terlalu memusingkan persoalan bahasa ini. Lihat perkembangan anak nanti di mana nyamannya,” katanya.

Bila terlihat di usia yang mulai cakap berbahasa, kata Tari, di situlah mungkin akan mulai dibiasakan masalah bahasanya. Apabila nyaman dengan Bahasa Minang, maka Bahasa Minang akan dibiasakan ke anaknya. Tari pun juga menyebutkan, masalah didikan bahasa juga tidak bisa berbuat lebih karena keadaan anak yang dihadapi nantinya di lingkungan rumah dan sekolahnya. “Makanya lihat yang nyaman saja. Di sini orang campur juga suku bangsanya. Jadi tidak terlalu memaksakan juga. Tapi memang lebih baik anak saya juga lancar berbahasa Minangnya. Jadi kalau pulang kampung anak saya mengerti bahasa kampungnya, dan di sekolah juga tidak takut berbahasa Indonesia dengan teman-temannya,” katanya. (*)

Exit mobile version