Padahal menurutnya, degradasi lingkungan dan pendangkalan dialami Danau Singkarak sudah dapat dilihat secara kasat mata. Apabila cuaca buruk, yang naik ke permukaan danau Singkarak kini tidak hanya lumpur (Bangai) atau belerang lagi.
Tapi juga zat-zat kimia residu shampo atau deterjen yang turut mengakibatkan berkurangnya aneka jenis ikan endemik Singkarak bernilai ekonomis tinggi seperti ikan Bilih atau Bangai yang kehadirannya selama ini telah menjadi motor utama penggerak ekonomi masyarakat salingka Danau Singkarak.
“Presiden sudah menyatakan danau ini adalah destinasi wisata danau yang harus dilestarikan dan dilindungi. Dibuat pula Event Tour De Singkarak disini. Dimasukkan juga ke dalam daftar 15 danau prioritas yang harus diselamatkan. Pertanyaannya, kenapa harus disini pula dibangun PLTS ini,” ucapnya heran.
Hardiansyah juga menyoroti dasar hukum yang digunakan pemerintah untuk melancarkan rencana pembangunan PLTS di Danau Singkarak. Dasar hukum itu, adalah Permen PUPR no 6 tahun 2020 yang menyatakan luasan solar panel maksimal adalah 20 persen dari total luas permukaan genangan waduk pada muka air normal.
Menurut dia, Succes Story pembangunan PLTS terapung di Waduk Cirata di Jawa Barat, tidak Apple To Apple dengan rencana pembangunan PLTS Terapung di Danau Singkarak. Apalagi, Waduk Cirata adalah danau buatan yang jelas berbeda dengan Danau alami Singkarak yang menyimpan kekayaan biota danau endemik.
“Sebelum Indonesia ini ada Danau Singkarak sudah ada. Sudah diolah oleh ulayat kami. Artinya, jika proyek ini dipaksakan, maka artinya negara tidak mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan haknya yang telah diakui dan dijamin oleh UUD 1945 pasal B ayat 2,” jelasnya.