Lebih lanjut, Walhi Sumbar juga menyoroti abainya penerapan prinsip FPIC atau Free Prior Informed Consent oleh pemerintah dalam banyak kasus masuknya investasi pembangunan besar di Sumatra Barat.
Termasuk dalam kasus rencana pembangunan PLTS Terapung di Danau Singkarak. Prinsip ini, dinilai seringkali diabaikan oleh pemerintah dalam menjalankan agenda pembangunan. Pengabaian ini pada akhirnya menuai penolakan masyarakat sekitar terdampak yang pada akhirnya hanya akan menambah deretan panjang titik-titik konflik agra-ia di Sumbar.
Mega proyek yang dilakukan atas nama energi baru terbarukan itu, nyatanya sudah direkomendasikan Gubernur Mahyeldi ke pemerintah pusat kendati proses dialog dan sosialisasi belum pernah dilakukannya langsung ke masyarakat di tingkat tapak.
Pola-pola pengabaian prinsip FPIC dalam agenda pembangunan dan investasi yang sama, juga dilakukan Gubernur Mahyeldi pada kasus PSN Air Bangis yang menuai gelombang protes ribuan masyarakat di ibukota Provinsi beberapa waktu lalu.
“Air Bangis ditujukan untuk industri refinery dan petrochemical serta sarana pendukung bagi PT Abaco Pasifik Indonesia pada lahan seluas ± 30.000. Prinsip FPIC juga tidak berjalan disini. Tidak kurang, 20.000 jiwa terdampak akibat proyek ini. Jika proyek dilanjutkan, maka sekitar 20.000 ha hutan akan dikonversi menjadi kawasan industri. Menjadi ironi, masyarakat adat dan komunitas lokal di eksklusi dan masuk penjara atas nama hutan, namun hutan di eksklusi atas nama investasi,” tambahnya.
Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Walhi Sumbar Tomi Adam menambahkan, dari konteks lingkungan hidup kekinian, Danau Singkarak sebenarnya sudah punya dilema persoalan lingkungan hidup yang sangat serius sehingga masuk dalam salah satu danau kritis di Indonesia.
Rencana pembangunan PLTS Terapung di Danau Singkarak, dikhawatirkan akan semakin menambah beban lingkungan hidup dan sosial bagi masyarakat yang bermukim di sekitaran danau vulkanik tersebut.