LBH Padang dinilai bukan organisasi masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan, sehingga tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan Gugatan Tata Usaha Negara (TUN) a quo terhadap KLHK yang memberikan persetujuan untuk memperpanjang pemenuhan lingkungan PLTU Ombilin.
“Alasan legal standing itu merupakan pertimbangan yang keliru dari majelis hakim. Dalam pasal 1 angka (15) Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2014 dan pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015, LBH Padang merupakan warga masyarakat yang berbadan hukum perdata dan terkait dengan keputusan dan/atau tindakan,” tuturnya.
Atas dasar itu, LBH Padang mempunyai kepentingan dalam mengajukan gugatan di PTUN Jakarta. Hal ini juga selaras dengan gugatan yang pernah diputus oleh PTUN Padang dan telah berkekuatan hukum melalui Putusan Nomor 2/P/FP/2017/PTUN.PDG.
“Majelis hakim tidak mencerna substansi gugatan secara komprehensif karena yang menjadi objek gugatan dalam gugatan a quo bukanlah Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana yang dimuat dalam pertimbangan putusan. Melainkan tindakan faktual dari KLHK yang tidak melakukan perbuatan konkret berupa pembekuan ataupun pencabutan izin dari PLTU Ombilin. Sehingga, alasan menolak gugatan tidak relevan,” ujar Adrizal.
Duduk Perkara Gugatan Terhadap KLHK
Adrizal menjelaskan sebelumnya pada 20 Juni 2024 , LBH Padang melayangkan gugatan kepada KLHK di PTUN Jakarta. Gugatan itu disampaikan karena KLHK tidak kunjung menindaklanjuti sanksi yang dijatuhkan kepada PLTU Ombilin melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.5550/MENLHK-PHLHK/PPSA/GKM.0/0/2018 Tahun 2018 atas pencemaran lingkungan yang dilakukan serta pelanggaran berat berupa rusaknya cerobong diesel dan firefighting serta kontaminasi FABA di beberapa titik di Desa Sijantang Koto.
PLN sebagai pengelola PLTU Ombilin, baru memulai pemulihan kontaminasi lima bulan selang gugatan dilayangkan oleh LBH Padang. Padahal PLTU Ombilin seharusnya selesai melakukan pemulihan lingkungan pada 2 Maret 2019.