PADANG, HARIANHALUAN.ID- Kebijakan pemangkasan anggaran yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto tidak hanya berdampak pada sektor-sektor tertentu, tetapi juga dapat memengaruhi struktur ekonomi secara keseluruhan.
Menurut para ekonom, pengurangan besar-besaran pada pos perjalanan dinas dan belanja operasional lainnya bisa memaksa pemerintah untuk menyesuaikan kembali strategi ekonomi yang telah dirancang sejak tahun lalu.
Yusuf Rendy Manilet dari CORE Indonesia menjelaskan, “Pemangkasan anggaran ini bisa mengubah alokasi anggaran negara, yang sebelumnya didorong untuk sektor jasa, menjadi lebih fokus pada sektor-sektor lain yang lebih produktif.”
Selain itu, pemangkasan anggaran juga terjadi di tengah rencana pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara melalui kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Namun, proyeksi tersebut batal diterapkan setelah mendapat penolakan dari berbagai pihak, dan akhirnya PPN 12 persen hanya diberlakukan untuk barang mewah.
“Karena kebijakan tarif PPN 12 persen batal, maka proyeksi penerimaan pajak yang diharapkan dari kebijakan tersebut harus disesuaikan,” kata Manilet.
Dengan pembatalan kenaikan PPN dan kebijakan pemangkasan belanja, pemerintah kini menghadapi tantangan besar dalam mengatur defisit anggaran yang semakin melebar.
“Jika penghematan ini tidak diimbangi dengan langkah-langkah untuk meningkatkan penerimaan negara, maka bisa jadi defisit anggaran akan semakin besar dan berdampak pada perekonomian nasional,” ungkap Manilet.
Meski demikian, Manilet mencatat bahwa dampak kebijakan ini sangat tergantung pada alokasi dana yang dipangkas. Jika pemangkasan anggaran perjalanan dinas dan belanja operasional lainnya dialihkan untuk mendanai sektor-sektor produktif, seperti infrastruktur atau program sosial, maka dampak negatif terhadap ekonomi bisa diminimalkan.
“Jika dana yang dipangkas dialihkan ke sektor produktif, maka kita masih bisa memitigasi dampaknya,” kata Manilet.
Sebaliknya, jika dana yang dipangkas tidak dialihkan dengan bijak, kebijakan ini bisa memperburuk kondisi ekonomi, terutama dalam menghadapi proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
“Tanpa pengalihan yang tepat, kebijakan ini berpotensi memperburuk kondisi perekonomian kita,” ujar Manilet.
Dalam hal ini, Rendy berharap agar pemerintah segera memberikan solusi konkret bagi sektor-sektor yang terdampak, seperti pariwisata dan industri jasa lainnya, sehingga kebijakan penghematan ini tidak menambah beban bagi perekonomian yang sedang berusaha pulih pasca-pandemi.
“Pemerintah perlu memberikan solusi agar sektor-sektor yang terdampak bisa beradaptasi dengan kebijakan ini dan tetap bertahan,” harapnya. (*)