PADANG, HARIANHALUAN.ID — Kebijakan efisiensi anggaran yang diperintahkan Presiden Prabowo Subianto kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (pemda) sedikit banyaknya akan berpengaruh bagi aktivitas perekonomian di daerah. Di sisi lain, kebijakan ini bisa menjadi ganjalan bagi legislator dan birokrat yang selama ini terbiasa berkerja dengan anggaran jumbo.
Pakar Ekonomi Universitas Andalas (Unand), Prof. Elfindri menilai, kebijakan penghematan anggaran pemerintah pada dasarnya hanya akan dirasakan secara nyata oleh pelaku usaha atau jasa di daerah yang selama ini bersentuhan langsung dengan aktivitas pemerintahan.
“Seperti bagi pelaku usaha kuliner, UMKM, usaha perhotelan, percetakan, pengadaan ATK, transportasi penerbangan, dan sebagainya yang selama ini bersentuhan langsung dengan aktivitas kegiatan pemerintah di daerah,” ujarnya kepada Haluan, Senin (3/2).
Direktur Suistainability Development Goals (SDGs) Unand itu menjelaskan, government expenditure atau pengeluaran pemerintah, hanyalah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi di samping investasi swasta maupun asing.
Oleh karena itu, Elfindri meyakini bahwa kebijakan efisiensi anggaran hanya akan berpengaruh sekitar 0,5 persen bagi tantangan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya yang telah diproyeksikan tumbuh sekitar 4,8 hingga 5 persen.
“Jika kebijakan ini diputuskan, penurunan kontribusi pengeluaran pemerintah kemungkinan akan menekan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,5 persen poin. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi kita mungkin hanya sekitar 4,5 persen akibat keputusan pusat ini,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, tujuan kebijakan efisiensi anggaran pada dasarnya adalah untuk melakukan penghematan di tengah tingginya beban dan cicilan pokok utang luar negeri. Situasi ini ditambah lagi dengan adanya sejumlah program pemerintah yang memerlukan biaya besar seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) dan Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Kebijakan ini juga menjadi respons pemerintahan Prabowo-Gibran atas ketidakpastian sumber penerimaan negara serta asumsi tax rate Indonesia saat ini yang masih berada pada angka 9 persen dan cukup sulit untuk ditingkatkan.
“Presiden Prabowo mungkin terkejut melihat pemasukkan negara yang hanya sebesar sekarang. Akibatnya beliau mengambil tindakan mengurangi pengeluaran negara secara signifikan,” ucapnya.
Di tengah pemberlakuan kebijakan efisiensi anggaran yang diprediksi akan cukup berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi ini, Elfindri berharap kebijakan pembatasan impor sejumlah komoditas yang saat ini juga sedang digencarkan oleh pemerintah dapat berdampak serta memberikan sedikit kompensasi.
Sebab secara tidak langsung, kebijakan pembatasan impor, otomatis akan memicu timbulnya aktivitas produksi dalam negeri atau domestik yang juga pasti akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya. “Kita masih belum bisa mensimulasikan hal itu. Apa saja selain penghematan anggaran yang selama ini tidak terkontrol dan tidak dikendalikan. Misalnya impor. Makanya komponen yang harus kita lihat itu adalah investasi, pengeluaran pemerintah, dan selisih antara ekspor impor yang semuanya berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi,” tuturnya. (*)