PADANG, HARIANHALUAN.ID — Guru Besar Ekonomi Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Hasdi Aimon meminta legislator di tingkat pusat maupun daerah untuk benar-benar memperketat fungsi pengawasan di tengah pemberlakuan kebijakan efisiensi anggaran kementerian/lembaga dan pemda yang telah diperintahkan Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Prof. Hasdi Aimon, kebijakan efisiensi anggaran ini adalah pendekatan baru dalam praktik penganggaran keuangan negara. Kalangan birokrat yang selama ini terbiasa bekerja dengan anggaran besar, sangat mungkin mengalami kegamangan yang dikhawatirkan akan mengganggu kerja-kerja pengabdian bagi negara.
“Fungsi pengawasan dari DPR atau DPRD tentu harus diperketat. Jika tidak, kita khawatir nanti akan terjadi kekacauan karena minimnya kemampuan manajerial yang akan berpengaruh terhadap output yang akan dicapai,” ujarnya kepada Haluan, Senin (3/2).
Prof. Hasdi Aimon menjelaskan, ada dua pendekatan pengelolaan anggaran keuangan. Pertama, berorientasi terhadap optimalisasi input atau biaya seperti yang berlaku pada periode pemerintahan sebelumnya, atau berorientasi terhadap output dengan input atau biaya yang dibatasi.
“Nah, para ekonom di zaman pemerintahan Prabowo-Gibran sepertinya memakai pendekatan yang kedua. Pendekatannya dibalik. Mereka memilih mengoptimalkan output dengan biaya yang dibatasi,” ucapnya.
Sederhananya, jika sebelumnya belanja modal untuk satu proyek A membutuhkan anggaran senilai Rp2 miliar untuk mencapai output tertentu, maka sekarang biaya tersebut ditekan menjadi Rp1 miliar dengan harapan output yang akan dicapai tetap bisa melebihi target. Dalam arti kata, anggaran yang dikeluarkan lebih efisien tapi hasil yang dicapai maksimal.
Karena pendekatan penganggaran yang digunakan pada tahun 2025 ini sama sekali baru bagi pemerintah daerah yang terbiasa bekerja dengan anggaran jumbo, Prof. Hasdi Aimon menganggap wajar jika nanti terjadi sedikit kegamangan dalam praktiknya.
“Pekerjaannya sebenarnya tetap sama saja, tapi tidak ada lagi pemborosan seperti sebelumnya. Jadi kontrolnya harus ketat, jika kontrolnya tidak ketat, output yang akan dicapai bisa saja gagal. Di sinilah perlunya kontrol dari legislator;” ucapnya.
Konsekuensi dari kebijakan efisiensi anggaran ini adalah berkurangnya anggaran yang bisa dibelanjakan oleh pemda. Situasi ini tentu membuat multiplier effect belanja pemerintah daerah tidak akan se-berdampak sebelumnya bagi perputaran ekonomi di daerah.
“Namun akan sangat sayang sekali jika output itu ternyata masih tidak bisa dicapai. Jika output kinerja masih bisa tercapai, multiplier effect-nya akan tetap luar biasa,” ucapnya.
Ia juga mengakui adanya kekhawatiran publik bahwa para birokrat di level nasonal maupun di daerah sudah sangat terbiasa bekerja dengan dana yang cukup jumbo. Untuk mengantisipasi hal ini, para pemangku kebijakan di daerah harus adaptif agar program yang telah dirancang sedemikian rupa di tingkat pusat ini tidak berakhir dengan kegagalan.
“Kita sebenarnya sedang menuju pola pikir negara maju. Output-nya yang ditetapkan dengan kualitas tertentu. Tapi dengan biaya yang seefisien dan semininal mungkin. Bagaimanapun, kebijakan ini harus benar-benar dikawal agar tidak terjadi penyelewengan di output,” tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (pemda) untuk melakukan penghematan dan efisiensi anggaran. Perintah yang termaktub dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025 itu juga siap dilaksanakan di Sumatera Barat (Sumbar). (*)