Terinspirasi dari Tupai Janjang, Tikam Kundang Jadi Cerminan Masa

Laporan : Kiki Nofrijum (Wartawan Haluan)

Kehadiran seni tari kontemporer bukan hanya ruang ekspresi gerak yang dituangkan ke dalam kreasi gerak dan lalu dipanggungkan. Lebih dari itu, Seni Tari Kontemporer juga hadir sebagai pemberi pesan akan nilai-nilai tertentu yang dapat mengantar penontonnya pada pemaknaan tunggal atau pun multitafsir. Tergantung bagaimananya kedekatan penonton dengan konsep yang dibawa dalam tari kontemporer tersebut.

Tikam Kundang, salah satu karya Tari Kontemporer yang digarap Joni Andra melalui Impessa Dance Company, telah dihadirkan pada pelaksanaan program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) 2021, bertempat di Pelataran Taman Budaya Sumatra Barat pada Sabtu (20/11) dan di Jorong Gumarang, Palembayan, Kabupaten Agam pada Minggu (28/11).

Joni Andra mengatakan, lahirnya Tikam Kundang adalah bentuk keresahannya terhadap keberadaan kesenian Tupai Janjang Palembayan yang di ambang kepunahan. Menurutnya, Tupai Janjang kehilangan generasi penerusnya, dan itu sangat disayangkan, karena kesenian Tupai Janjang merupakan identitas khas masyarakat Palembayan.

“Atas alasan itulah Tikam Kundang lahir. Ini upaya untuk menjemput Tupai Janjang dan menyadarkan kembali masyarakatnya. Kata Tikam saya gunakan sebagai cara untuk menapaki jejak Tupai Janjang itu sendiri. Dan kata Kundang adalah sikap rasa sayang yang saya artikan sebagai sebuah ingatan,” katanya kepada Haluan, Jumat (3/12).

Selain itu, Tikam Kundang juga mengangkat pesan terkait moral yang sedang merosot saat ini. Mulai dari karakter anak-anak yang acap di luar batas karena pengaruh teknologi, aksi kekerasan seksual terhadap anak, dan masalah-masalah lain yang menjadi keresahan bagi Joni Andra sendiri.

Sang Koreografer menganggap, kasus-kasus tersebut juga perlu disampaikan karena terkait paut dengan faktor pendidikan di tengah keluarga, yang merupakan sarana pendidikan utama bagi seorang anak.

Mematut Tikam Kundang

Pertunjukan Tikam Kundang sebagai seni tari kontemporer berbentuk teatrikal memantik penonton pada pemaknaan multitafsir. Terlihat dengan jelas di awal pertunjukannya yang menghadirkan seorang perempuan berpenampilan bak ratu dengan banyak selendang terurai panjang. Kemudian, selendang itu diangkat dan dipegang oleh sekumpulan anak kecil yang mengiringi perempuan itu dari belakang.

Bentuk yang dihadirkan Joni Andra dari gerakan itu menjelaskan, bahwasa perempuan yang seperti ratu itu adalah gambaran perempuan Minangkabau dalam identitas matrilinialnya. Akan tetapi, kemegahan yang dibawanya menyimpan beban-beban masa lalu yang tidak bisa diceritakan.

“Beban masa lalu yang tidak bisa diceritakan itu saya maksudkan sebagai pola sikap dan tingkah laku pada orang tua, yang tentu akan dibawa anaknya juga kelak. Artinya, saya mengartikan isu ini kepada sistem pola asuh orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik utama anak,” kata Joni Andra lagi.

Perihal sistem pola asuh tersebut, sangat jelas terlihat ketika adegan berlanjut dengan menghadirkan dua orang lelaki dalam gerakan saling menirukan. Joni Andra menjelaskan, bahwasa adegan itu menggambarkan tentang pola asuh orang tua kepada anak, di mana yang diajarkan orang tua kemudian akan digunakan oleh anaknya.

Di tengah berlangsungnya pertunjukan, penonton kiranya sudah mulai merasakan latar belakang cerita yang dihadirkan Tikam Kundang. Terlebih, secara penyajian pertunjukan, Joni Andra melibatkan sekelompok gadis kecil, yang bisa dimaknai sebagai gambaran seorang anak. Ada pun penari laki-laki remaja, dapat dimaknai sebagai bapak atau orang tua.

“Ini pesan yang ingin juga saya sampaikan. Makanya, pada bagian akhir saya tutup dengan seorang anak yang dimandikan oleh seorang laki-laki. Artinya, orang tua laki-laki juga bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anaknya, meski dalam adat Minangkabau seorang lelaki beristri hanya diposisikan sebagai sumando yang tidak bisa berbuat banyak,” katanya.

Selain itu, pesan yang ingin disampaikan Joni Andra juga tepat dirasa, karena mengingat sekarang marak kasus kekerasan seksual pada anak. Makanya, Joni Andra mengadaptasi Tupai Janjang yang menghadirkan isu-isu yang sedang hangat dibicarakan saat ini.

Cermin Masa ke Dalam Masa

Sistem pendidikan orang tua kepada anak yang diangkat Joni Andra dalam penggarapan karya tarinya tidak lepas dari konsep awal yang dibangunnya, di mana Tikam Kundang mengakarkan karyanya pada kesenian Tupai Janjang.

“Kesenian Tupai Janjang dalam sejarahnya menceritakan seorang anak raja di Gumarang, Palembayan, di mana anak tersebut memiliki kemiripan wajah seperti tupai. Konon, kejadian itu bermula saat raja dan istrinya menjalani kehidupan rumah tangga yang berkecukupan, tetapi belum juga dikarunai anak,” ujarnya.

Lalu, Joni Andra melanjutkan, suatu ketika raja dan istrinya pergi ke hutan, dan si istri melihat seekor tupai yang sedang melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Sehingga, istri raja mematutnya dengan senang sampai keluar ucapan “Dapek bana ambo anak bantua tupai koh, tetap kan ambo tarimo sajo sebagai anak ambo”. Hingga pada akhirnya, ucapannya menjadi kenyataan.

“Proses yang dilalui raja dan istrinya dalam mendidik anaknya itu hingga dewasa, sangat sejalan dengan isu yang terjadi sekarang ini. Kesenian Tupai Janjang saya jadikan sebagai dasar konsep Tikam Kundang,” katanya mengakhiri. (*)

*Kiki Nofrijum (Wartawan Haluan)

*Foto : Hudial Hilmi (Rotan Art)

Exit mobile version