Khairul Jasmi: Masih Dipercaya di Tengah Badai Disrupsi, Akurasi Harga Mati Pers Mainstream

Khairul Jasmi

Tokoh Pers Sumatera Barat (Sumbar), Khairul Jasmi

PADANG, HARIANHALUAN.ID – Tokoh Pers Sumatera Barat (Sumbar), Khairul Jasmi meyakini di tengah era disrupsi digital seperti saat ini, pers sebagai pilar demokrasi keempat masih akan tetap berdiri tegak sebagai sumber referensi masyarakat maupun para pemangku kebijakan.

Keyakinan ini, dikuatkan temuan survei Ipsos Global Trustworthiness Index 2024. Survei ini, menempatkan profesi jurnalis kedalam deretan 10 besar profesi yang paling dipercaya masyarakat di 32 negara maju dan berkembang diseluruh dunia.

“Artinya, di dunia sekalipun, pers atau wartawan masih termasuk sebagai kelompok yang dipercayai publik,” ujarnya kepada Haluan, Minggu (9/2/2025).

Pemimpin Redaksi (Pimred) Harian Singgalang ini mengakui, kemajuan teknologi informasi dan digital, utamanya media sosial memang menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan pers mainstream di berbagai negara termasuk Indonesia.

Tantangan ini, kian bertambah kompleks dengan perkembangan teknologi serba instan kecerdasan buatan atau Artificial Inteligent (AI). Sekalipun demikian, kebutuhan publik terhadap informasi yang kredibel, berkualitas, serta dibuat sesuai prinsip dan etika kode etik jurnalistik diyakini masih akan selalu ada selama dunia masih tetap berputar.

“Dengan adanya AI, industri media mungkin saja bisa tutup. Tapi pekerjaan wartawan atau jurnalisme akan terus ada sepanjang masa,” tegasnya.

Pada momentum peringatan Hari Pers Nasional (HPN) kali ini, Khairul Jasmi mengingatkan bahwa sejarah telah mencatat bahwa Sumatera Barat telah melahirkan banyak sekali tokoh berpengaruh sekaliber Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Moh Yamin, Rahmah El Yunussiyah, Djamaluddin Adinegoro, Sutan Takdir Alisjahbana, Buya Hamka, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Karni Ilyas dan banyak tokoh-tokoh hebat lainnya.

Kadar intelektualitas para tokoh pejuang dan pemikir asal Ranah Minang ini, telah memberikan warna dan kontribusi luar biasa tak terkira bagi perkembangan peradaban negeri ini. Baik itu sejak era pra kemerdekaan hingga zaman reformasi seperti saat ini.

“Sejarah pers Indonesia dan tokoh-tokohnya ini mesti terus dikenang. Dari Sumbar, hampir semua tokoh hebat pejuang bangsa itu berlatarbelakang wartawan, penulis dan juga guru,” ucap wartawan senior pemegang Press Card Number One dari PWI tahun 2016 ini.

Kondisi Pers Ranah Minang dan Ancaman Regenerasi Wartawan

Khairul Jasmi menyebutkan, pers berkualitas bukanlah pers yang main hantam kromo membabi buta begitu saja. Lebih dari itu, pers yang baik adalah pers yang berintegritas dan tidak kehilangan daya kritis.

“Yaitu, pers yang mampu memberikan insight mencerdaskan masyarakat, serta istiqomah bekerja sesuai kode etik jurnalistik, guna mengawal dan menjaga kebijakan penguasa agar tidak merugikan masyarakat banyak,” katanya.

Terkait terjun bebasnya I⁠ndeks Kemerdekaan Pers (IKP) Sumbar ke posisi 34 dari 38 provinsi di Indonesia, ia menjelaskan bahwa salah satu indikator penting IKP adalah tingkat kesejahteraan wartawan atau jurnalis di daerah. 

Dengan kondisi banyaknya perusahaan swasta skala besar yang beroperasi di Kalsel dan Kaltim, ekonomi media di dua provinsi itu jelas lebih ‘Sehat’ dibandingkan daerah lainnya. 

“Bahkan iklan termahal di luar Jakarta, ada di Kalsel dan Kaltim. Tapi di daerah lain, termasuk Sumbar, hampir semua lembaga media nyaris bangkrut, bahkan ada yang tidak mampu menggaji wartawannya,” ucap KJ.

Melemahnya ekonomi industri media lokal yang salah satu penyebabnya adalah beralihnya porsi iklan pemerintah maupun swasta ke media sosial atau Influencer ini. Menurut KJ, ini adalah ancaman nyata bagi masa depan regenerasi atau kaderisasi wartawan di Sumatra Barat.

Sebab, dengan ketidakpastian penghasilan dan kesejahteraan yang dijanjikan profesi wartawan, anak muda utamanya generasi millenial atau Gen Z pasti akan berpikir dua kali untuk memutuskan terjun secara profesional ke dunia jurnalistik.

“Kaderisasi wartawan jelas terancam. Sebab saat ini, wartawan memang harus punya unit usaha lain. Kalau cuma mengharapkan gaji wartawan saja, tentulah tidak akan cukup. Sebab, ekonomi pers itu tidak tumbuh karena porsi iklan sudah diambil oleh media sosial,” ucapnya.

Terlepas dari persoalan kesejahteraan, Khairul Jasmi meyakini bahwa satu-satunya cara jitu untuk mempertahankan eksistensi bisnis media mainstream, adalah dengan meningkatkan kualitas produk jurnalistik dan kontrol sosial yang akurat.

“Nah untuk wartawan, minimal harus bisa menulis panjang, setengah panjang atau buku. Keterampilan itu memang tidak akan ada yang mengajari. Tapi itu semua bisa dipelajari secara otodidak asalkan konsisten dan mau belajar,” tuturnya. (*)

Exit mobile version