HARIANHALUAN.ID – Hari Pers Nasional (HPN) ke-79 baru saja diperingati Minggu, 9 Februari 2025. Peringatan HPN tahun ini berlangsung dalam suasana memprihatinkan. Prihatin atas kondisi media yang sedang tidak baik-baik saja. Prihatin juga dengan friksi di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang berlarut-larut. Apa masalahnya? Apa solusi? Berikut catatan seputar HPN 2025.
Selain menjadi ajang silaturahmi dan temu-kangen sesama insan pers di tanah air, sejatinya HPN merupakan momentum refleksi, evaluasi dan sekaligus melihat arah perjalanan pers nasional ke depan. Agar kita; pers, media dan wartawan bisa memperbaiki, menyiapkan dan menguatkan diri menghadapi tantangan yang kian kompleks.
Baca Juga: Catatan HPN 2025 (1), Tetap Semangat Meski Prihatin
Hari ini, pers mengalami tantangan yang sangat besar. Badai disrupsi digital, belum reda. Masih bergejolak, berpiuh dan berputarputar. Tsunami informasi yang menyapu ruang-ruang kehidupan kita, menyisakan tumpukan sedimentasi yang membuat sesak nalar dan logika. Sampah informasi, ujaran kebencian dan hoax, berserakan di mana-mana.
Bayangkan! Data digital Indonesia 2024 mengungkapkan, 282,4 juta penduduk Indonesia memiliki perangkat mobil yang terhubung (ponsel aktif) sebanyak 354 juta (125 persen dari total populasi).
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat, pengguna internet di Indonesia tahun 2024 sebanyak 221 juta, dan diperkirakan meningkat sampai 235 juta pada 2025 ini. Sedang pengguna media sosial 2024 menurut databoks.katadata.co.id, mencapai 191 juta.
Waktu rata-rata orang Indonesia menggunakan internet 7 jam 38 menit per hari. Data itu menunjukkan, mayoritas masyarakat kita hari ini, hidup dan beraktivitas dengan perangkat digital dengan seluruh turunannya. Termasuk dalam mengonsumsi informasi. Terjadi migrasi besar, dari cetak ke digital.
Dan perlu dicatat, semua orang kini juga menjadi produsen informasi, baik teks, foto dan video. Itulah disrupsi digital dan disrupsi media sosial. Belum selesai dua disrupsi itu, muncul lagi disrupsi ketiga yang bernama kecerdasan buatan (artificial intelligence) alias akal imitasi (AI). Ibarat pisau bermata dua, bila tidak hati-hati menggunakan AI, bisa-bisa melukai diri sendiri. Seiring dengan ketiga disrupsi itu, dari dalam, pers juga berhadapan dengan ‘ledakan’ jumlah perusahaan media dan wartawan yang tidak kompeten.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan, dari 40 ribu lebih perusahaan pers yang ada di berbagai daerah di Indonesia, sampai saat ini baru sebanyak 1.800 yang terverifikasi Dewan Pers. Begitu pun jumlah wartawan, jika 40 ribu lebih perusahaan media itu masing-masingnya mempunyai tiga-empat orang wartawan, maka ada sekitar 150 ribu wartawan atau orang yang mengaku wartawan yang beraktifitas di Indonesia.